Senin, 15 Februari 2010

Pujangga Kehabisan Kata (PKK)


Pujangga Kehabisan Kata

(PKK)

Ini adalah sebuah goresan kehidupan yang tertuang dan diwakili oleh susunan huruf konsonan dan vokal yang saling melengkapi meski belum tentu saling mencinta

Jangan DIBACA jika anda merasa bahwa ini adalah penghamburan energi sia- sia, meski ada fakta bahwa energi itu tidaklah hilang, melainkan hanya mengalir menjadi suatu transformasi lain atau bentuk energi baru.

Jika kisah ini hanya membuat anda MENGANTUK, maka TIDURLAH ! dan jangan paksakan diri anda untuk tetap membacanya.

Sebaliknya, jika kisah kehidupan ini membuat anda TIDAK BISA TIDUR, maka sekali lagi jangan paksakan diri anda untuk tetap membacanya. Ini BUKAN obat anti NGANTUK apalagi modul pelatihan instant kiat jitu menjadi INSOMNIA.

Jika deretan huruf ini membuat anda TERTAWA atau MENANGIS, sebaiknya ditahan dulu sebentar sambil tengok kanan kiri, apakah ada orang lain yang justru sedang menertawakan atau menangisi anda atau tidak. Baru setelah dinyatakan ‘aman’, anda bisa memilih mau menangis atau tertawa. Atau bisa juga anda mencampur keduanya. Asalkan jangan sampai gara- gara anda tertawa atau menangis sendirian kemudian ditangkap petugas TRANTIB (SatPol PP).

( m a s t e r S C )

***

Pasal 1

Jabang Bayi

( Purworejo, 09- 09- 1969 )

Itulah tanggal dimana untuk ke empat kalinya ibuku melahirkan anaknya. Meski susunan tanggal- bulan dan tahun kelahiranku cukup cantik tapi itu bukan produk dari persalinan yang dipaksakan. Atau yang mungkin lebih tepat disebut dengan Operasi “ Caesar “. Andai bapakku seorang Kaisar, mungkin cerita kelahiranku akan menjadi lain.

Cahyo Widodo. Itulah namaku. Meski ada pujangga barat yang kebetulan diwakili oleh ShakspeareApalah arti sebuah nama, namun tidak demikian dengan bapakku. Nama adalah sesuatu yang sakral, karena nama bagi bapakku adalah doa dan pengharapan serta keadaan atau sejarah seorang manusia ketika dilahirkan. berkata bahwa

Cahyo berarti Cahaya, karena ketika aku dilahirkan di desaku belum ada listrik. Sehingga kedua orangtuaku mempunyai harapan agar kelak aku dapat memberikan manfaat bagi orang banyak seperti lampu listrik yang selalu terang terus. Meski kedua orangtuaku sendiri belum pernah melihat cahaya lampu listrik apalagi sampai kesetrum (tersengat) listrik.

Widodo artinya keselamatan. Tentunya yang dimaksud adalah keselamatan ( kesehatan ) baik jasmani dan rohani (tidak sinting meski hanya setengah). Baru setelah aku disekolahkan SD, aku mendapatkan homonym (padanan kata) dari kata Widodo. Yaitu kata Mensana In Corpore Sano, yang kata guru olah ragaku, kata tersebut mempunyai arti: didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.

Menurutku, kata asing tersebut lebih keren dibandingkan dengan kata Widodo, sehingga aku memberanikan diri menghadap bapakku untuk merubah namaku dari Widodo menjadi Mensana In Corpore Sano. Sehingga nama lengkapku menjadi Cahyo Mensana in Corpore Sano. Namun hasilnya nihil, malah terkena sumpah serapah panjang lebar, bahkan di cap bocah edan ora wedi kuwalat (anak sinting yang tidak takut karma). Dan meski aku terserang kudis dan cacingan pun, namaku tetap Cahyo Widodo anak ke empat dari pasangan bapak Slamet Utomo dan ibu Rahayu Utami.

* * *

Pasal 2

Childhood Memories

Kehidupanku pada masa kanak- kanak tidaklah seperti kehidupan masa kanak- kanak lain pada umumnya di desaku. Dimana setiap anak- anak bisa bebas bermain apa saja. Pergi menelusuri sudut- sudut kampung atau bergelayutan di dahan- dahan pohon ataupun melakukan hal- hal lain yang biasa dilakukan oleh anak- anak.

Kedua orangtuaku, terutama bapakku mungkin adalah penentang segala macam bentuk teori perkembangan individu entah itu dimulai dari teorinya Gardner hingga Piaget. Sedangkan ibuku adalah sosok wanita yang sangat patuh terhadap segala aturan kepala keluarga, laiknya istri Napoleon Bonaparte yang begitu patuh untuk disuruh tidak mandi berbulan- bulan hingga Napoleon kembali dari medan peperangan.

Begitu dilahirkan, kehidupanku sudah dipolakan sedemikian rupa untuk mengikuti “ritme” yang sudah disusun oleh bapakku. Bukan berarti bapakku merasa khawatir jika sifatku dengannya merupakan Anomali (penyimpangan) hukum Mendel ( hukum pewarisan sifat) atau ketakutan terhadap imajinasi Darwin yang telah berkelakar dengan mengeluarkan teori evolusinya.

Hampir dari seluruh masa kanak-kanak, aku habiskan didalam rumah. Pernah secara diam- diam aku pergi bersama teman- teman untuk bermain. Akan tetapi 15 menit kemudian, sudah terlihat bapakku dengan tatapan matanya yang khas membawaku kembali ke rumah. Hingga pada suatu saat aku berada di titik kulminasi bapakku ( sesuai hukum aksi- reaksinya Le Chatalier) dengan bermain diluar rumah dimalam hari pada waktu bulan purnama. Dimana setiap malam bulan purnama, hiburan bagi anak- anak di kampungku adalah bermain pada malam hari. Anak- anak perempuan ada yang bermain Dakon (gundu), lompat tali ataupun Gobak Sodor. Anak laki- laki bermain petak umpet atau bertanding pencak silat bagi yang remaja. yang aku aplikasikan dengan melakukan reaksi sebagai tanggapan atas aksi over protectif

Akupun menikmati terangnya sinar bulan purnama hingga bulan sudah merasa cukup untuk menunjukkan kelembutan sinarnya dan segera ingin cepat- cepat kembali ke peraduannya. Aku begitu terkejut ketika kembali ke rumah mendapati semua pintu yang ada dirumahku terkunci, hingga aku tidak bisa masuk. Aku sudah berteriak- teriak, tetapi pintu tidak jua kunjung terbuka. Akhirnya aku duduk di depan rumah sambil terisak pelan dalam tangis.

Sungguh aku bersyukur ketika satu jam kemudian kakekku keluar untuk melakukan ‘rutinitas’ tuanya, yaitu buang air kecil (BAK). Begitu membuka pintu, kakek terkejut karena melihat ada anak kecil duduk di depan rumah malam- malam. Rupanya kakek tidak bisa mengenali langsung bahwa aku adalah cucunya sendiri.

“Mengapa kamu masih duduk disini ? cepat pulang sana ! yang lain sudah pulang semua !” Kata kakek setengah bertanya setengah ber-fatwa.

“Ini Cahyo Kek…” Jawabku sambil cepat- cepat berlari masuk rumah, karena aku tidak ingin berdebat panjang dengan kakekku.

* * *

Aku mendapatkan pendidikan dengan system yang cukup “radikal’ sejak kecil. Yaitu layaknya sistem pendidikan Kolonial Belanda yang begitu suka menerapkan hukuman fisik. Jadi dalam proses belajar atau bermain, aku lebih banyak menangisnya dari pada tertawa karena gembira. Prinsip HARUS BISA dan TANPA ADA KESALAHAN merupakan standar kompetensi dan indikator pembelajaran yang harus aku capai.

Setelah aku disekolahkan di SD (Sekolah Dasar), detik demi detik aku harus senantiasa di dalam rumah untuk belajar dan belajar. Akan tetapi aku tidak pernah belajar, karena aku tidak pernah didampingi atau diarahkan bagaimana cara atau konsep belajar itu. Namun, alasan sesungguhnya, karena aku memang tidak suka belajar. Satu- satunya proses belajar dimana aku didampingi langsung oleh bapakku adalah mengaji (belajar membaca al- Qur’an), itu karena bapakku adalahguru ngajiku. Menurut pendapat bapakku, belajar adalah pengulangan terhadap pelajaran yang sudah diberikan.

Ketika siang hari, Aku selalu memanfaatkan waktu sebelum bapak pulang dari pekerjaannya untuk belajar berenang secara otodidak di sungai dekat rumahku dan memanjat pohon. Aku mulai menghentikan aktivitas panjat memanjat pohon ketika melihat dengan mata kepalaku sendiri, Pak De Anwari jatuh dari pohon kelapa pada waktu sedang melakukan tugas rutin untuk mengambil Nira (legen). Hal yang lebih menyeramkan lagi adalah ketika sekujur tubuh Pak De Anwari dikencingi habis- habisan di bawah pohon kelapa, sebelum dilakukan pertolongan lebih lanjut (P3K). Hingga sampai sekarangpun, aku belum tahu alasan ilmiahnya, mengapa jika seseorang jatuh dari pohon kelapa demi mengambil tetesan- tetesan nira, hal pertama yang harus dilakukan adalah kewajiban untuk mengencinginya. Orang- orang tua hanya bilang bahwa hal tersebut untuk “buang sengkolo” atau membuang nasib sial yang menimpa pengambil nira. Sungguh, bagiku ini adalah kontra logika.

***

Pasal 3

Elementary Love is Elementary Sex ?


Siti Fatimah, temanku SD kelas V tiba- tiba menjerit diantara tangisnya yang meraung- raung ditambah dengan wajah yang pucat pasi ketakutan, ketika dia tiba- tiba mengeluarkan darah dari dalam roknya. Aku sendiri hampir pingsan melihat kejadian itu. Aku mengira Siti sedang menderita penyakit yang sangat serius yang aku belum tahu apa sebabnya. Meski sudah dijelaskan oleh Bu Jumiyati mengenai sebab- musabab darah Siti keluar, namun Siti tetap meraung- raung ketakutan dalam tangisnya. Mungkin ia tidak percaya bahwa hal tersebut terjadi padanya.

Tidak apa- apa Siti, itu bukan darah karena penyakit. Ini adalah menstruasi atau haid, dan semua wanita normal mengalami menstruasi Jelas Bu Jumiyati panjang pendek.

Di kuadran lain, tidak semua wanita seusia Siti dan laki- laki seusiaku…

M a a f BERSAMBUNG….


Rabu, 03 Februari 2010


Learning For Life atau Learning For Competition ?
(Refleksi Detik- detik Akhir UN 2010)
Oleh: Sugeng Cahyadi

“Salah satu fungsi sekolah (pendidikan) adalah menyiapkan siswa untuk menghadapi dunia nyata. Mereka perlu disadarkan tenang harapan yang mereka pikul, tantangan yang mereka hadapi, dan kemampuan yang perlu mereka kuasai.” (Renate N. Caine dan Geoffrey Caine). Pernyataan tersebut adalah gambaran ringkas dari konsep learning for life (belajar untuk hidup) yang seharusnya dijadikan tujuan dari sebuah pembelajaran atau pendidikan, karena pendidikan adalah tujuan terpenting dalam kehidupan, baik secara individu maupun secara keseluruhan. Kemudian, bagaimana dengan tujuan pendidikan Negara kita (Indonesia) ? Apakah berorientasi pada learning for life ? Untuk menemukan jawabannya, tentunya kita harus melihat dan merasakan langsung realita- realita yang ada pada dunia pendidikan kita.

Pendidikan Yang Tidak Berkeadilan
Meskipun sudah ada keputusan MA tentang ‘dilarangnya’ penyelenggaraan Ujian Nasional (UN), tetapi untuk UN tahun pelajaran 2009 / 2010 (baca: UN 2010) tetap dilaksanakan. Dasar hukum UN 2010 adalah Permendiknas no. 75 tahun 2009.
Apa esensi UN bagi sistem pendidikan kita ? Bukankah Negara Finlandia merupakan Negara yang pendidikannya termasuk kategori baik (maju), meskipun tanpa menerapkan adanya UN ? Apakah UN dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan secara nasional ? Akan tetapi, bukankah soal- soal UN yang diujikan mempunyai grade- grade tertentu ? Yaitu grade untuk wilayah Upper (tinggi), Middle (sedang) dan Lower (rendah). Inilah yang akhirnya menjadikan output nasional campur aduk menjadi satu, baik yang berasal dari wilayah upper, middle dan lower akan mempunyai predikat yang sama, yaitu LULUS UN 2010 meskipun mereka mengerjakan soal dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Inilah wilayah ‘abu- abu’ (baca: samar- samar) dari sistem pendidikan Indonesia, dimana kita tidak akan bisa lagi mengetahui dan membedakan mana output perwakilan dari ‘grade’ lower, ‘grade’ middle dan ‘grade’ upper. Apakah ini sebuah keadilan penilaian ? Ingatlah bahwa Rasul SAW sudah menasehatkan: “Bersikap adillah kepada semua anak kalian.” Apakah hal seperti ini juga yang membuat Albert Einstein begitu membenci sekolah ? “satu- satunya hal yang menghambat pembelajaran saya adalah pendidikan saya.” (Albert Einstein).

Pendidikan Hanya Untuk Berkompetisi
Yang dimaksud dengan berkompetisi disini adalah kompetisi untuk ‘mengoleksi’ nilai dan meraih predikat. Saat ini, nilai (value) dalam dunia pendidikan menjadi satu- satunya barang mewah yang harus dipajang pada tempat tertinggi dimasing- masing sekolah. Indonesia adalah Negara yang penuh dengan kompetisi (persaingan), sehingga tujuan pendidikan-pun terpeleset menjadi pendidikan untuk berkompetisi (learning for competition). Lihatlah, mulai dari jabatan presiden hingga kepala desa merupakan bentuk kompetisi, sehingga kita menjadi tidak asing lagi dengan kata ‘tim sukses’ yang sudah pasti ada dalam sebuah kompetisi. Untuk menghadapi UN, setiap sekolah juga mempunyai tim sukses yang mempunyai tujuan supaya sekolahnya LULUS UN 100 % dan tim sukses antar sekolah juga saling berkompetisi, sehingga ‘special treatment’ (perlakuan khusus) yang dialami siswa disetiap sekolah juga berbeda- beda.
Inilah persaingan, sehingga output pendidikan sudah dipersiapkan dan dilatih untuk bersaing sejak dini, karena kita hidup di Negara yang penuh persaingan. Dengan demikian, hasil penelitian Blazely (1997) yang menyimpulkan bahwa pembelajaran di sekolah ternyata cenderung sangat teoritis dan tidak terkait dengan lingkungan tempat siswa berada, sehingga output yang dihasilkan tidak mampu memecahkan persoalan kehidupan yang dihadapi, bisa tidak berlaku di Negara kita. Betulkah demikian ? Bagaimana jika para output pendidikan ini malakukan persaingan yang tidak sehat atau persaingan kotor yang mengabaikan norma didalam kehidupan nyata setelah mereka lulus ? Kesimpulannya, berhasil atau gagalkah tujuan pendidikan kita ? Mari kita renungkan bersama kritiknya Ahmad Syauqi (penyair Mesir) terhadap dunia pendidikan: “Kalau akhlak suatu kaum bejat, maka adakanlah tahlil kematian dan tangisan untuk para guru.” Pendidikan itu layaknya sungai yamg harus memberi minum kepada orang- orang yang kehausan, mengubah tandusnya akal menjadi kesuburan ilmu pengetahuan.


Nilai Atau Ilmu Pengetahuan ?
Apakah dengan memperoleh nilai yang tinggi berarti seseorang telah menguasai ilmu pengetahuan yang sempurna (baik) ? untuk mencari kebenaran jawabannya, mari kita renungkan beberapa bukti- bukti berikut:
Didalam sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan, tepatnya QS. Al- Mujadilah: 11 telah begitu jelas bahwa yang akan ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT adalah orang- orang yang mempunyai ilmu pengetahuan lagi beriman. Pada ayat tersebut tidak disebutkan mengenai nilai (value), tetapi ilmu pengetahuan. Lihat juga pada QS. Thaha: 114 sebagai berikut: “Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”.
Bukti yang lain adalah bahwa soal UN berbentuk multiple choice atau pilihan ganda, sehingga sangat sulit jika digunakan untuk mengukur kemampuan atau kompetensi seseorang, karena dengan bentuk multiple choice tidak akan bisa mengetahui analisis seseorang terhadap suatu permasalahan yang disajikan. Bentuk pilihan ganda memungkinkan adanya ‘gambling’ (untung- untungan / spekulasi) apabila seseorang yang diuji tidak bisa atau merasa ragu dengan jawabannya. Kita bisa membandingkan dengan sistem penilaian di Amerika Serikat, bahwa pada tahun 1990, Komite Nasional untuk Kebijakan Publik dan Pengujian telah merekomendasikan beberapa poin perubahan tentang penilaian, diantaranya adalah restrukturisasi pada pola testing penilaian yang mengacu pada pengembangan dan pemberdayaan bakat manusia, serta membatasi ketergantungan terhadap test pilihan ganda karena hasilnya kurang valid.
Pendidikan (sekolah) yang tujuannya hanya memberikan prestasi akademik tanpa kemampuan dan tanpa metode, tidak akan bisa menjamin peserta didiknya beradaptasi dengan komunitas yang lebih besar pada kehidupan nyata. Metode pendidikan yang baik adalah yang mampu memberikan peluang kepada peserta didiknya untuk maju dan berhasil dalam semua aspek keilmuan, mampu melahirkan nilai- nilai dan penanaman akhlak mulia serta menjamin kemampuan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan budaya.



Sugeng Cahyadi, S. Pd. I Guru IPA MTs Negeri Purworejo Jl. Keseneng- Purworejo. 54119

Teacher Quote 20