Sabtu, 03 Maret 2012

Tuhan Izinkan Aku Untuk Menulis Ulang Takdirku

  Tuhan Izinkan Aku Untuk Menulis Ulang Takdirku 


 Bab. 1
 Rose From Village
( Perawan Dari Desa )


Terlepas dari masalah ‘aneh’ tentang penggambaran sebagai kawasan untaian jamrud katulistiwa, tidak dapat dipungkiri bahwa didalam untaian jamrud tersebut masih banyak terdapat noda- noda yang bernama kemiskinan. Dari tanah kemiskinan tersebut juga muncul sesosok ‘juara tanpa piala’. Sesuai dengan makna yang termaktub dalam namanya, Sekar Wangi atau yang biasa dipanggil Sekar adalah bunga yang tercantik di kampungnya. Gelar Bunga Desa disematkan pada Sekar oleh seluruh warga kampungnya, meskipun ia tidak pernah mengikuti kontes Miss Bunga Desa sekalipun. Memang pada faktanya kampung tersebut tidak pernah menggelar acara kontes kecantikan tersebut karena dianggap sebagai hal yang tabu. Meskipun sang Bunga Desa berparas elok nan rupawan, karena ia jauh dari sorot lampu kota maka Sekar tidak masuk dalam komunitas yang dinamakan public figure yang dikenal luas diseluruh nusantara baik dari balita hingga manula.
Meskipun kemiskinan tidak pantas dijadikan sebagai alasan apalagi di-cat menjadi kambing hitam, nyatanya Sekar tidak bisa melanjutkan posisi duduknya di bangku sekolah. Era sekolah gratis tetap menjadikan Sekar tidak bisa menikmati sudut sekolah. Sekolahnya memang gratis, tapi perjalanan jauh dari kampung Sekar ke lokasi sekolah tidak masuk dalam draft atau item gratisan tersebut. Satu- satunya sumbangan yang harus dibayar pada pihak sekolah adalah uang SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi). Itu pun bisa mendapatkan keringanan asalkan bisa menunjukkan surat keterangan keluarga tidak mampu yang ditanda tangani oleh pak Lurah.
“Sekar.., kamu ini seorang wanita untuk apa sekolah tinggi- tinggi,  setelah menikah nanti kan cuma jadi ibu rumah tangga.” Kata bapaknya memberi wejangan. “Lihatlah Sekar.., banyak sekali anak- anak yang sekolah tinggi sampai- sampai orang tuanya menjual sawah, namun akhirnya hanya hidup sebagai kolektor ijazah.” Lanjut Suwito ayah Sekar panjang lebar.
“Baik pak, meskipun sebetulnya Sekar ingin sekali melanjutkan hingga SMP.” ucap Sekar tertunduk sedih.
Seperti layaknya dengan gadis desa lainnya yang berusia 15 tahun, Sekar Wangi adalah gadis yang patuh pada orang tuanya maupun patuh dengan ajaran agama yang diyakininya. Di pagi buta selepas subuh, Sekar harus menuang nira ke dalam periuk besar dan setelah nira dituang, ia pun harus membersihkan bumbung (tabung silinder yang terbuat dari bambu untuk menampung nira dari pohonnya) agar selepas Asar bumbung tersebut bisa digunakan untuk menggantikan bumbung yang tadi pagi dipasang bapaknya di pohon kelapa.
Sekar lebih suka memilih mencari rumput bersama teman- temannya dari pada harus mengolah nira menjadi gula merah, karena ia merasa bahagia bisa bercerita atau saling bertukar khayalan tentang masa depan dengan teman- temannya yang bernasib sama dalam mewarisi ‘tradisi’ putus sekolah. Menjelang waktu dzuhur, Sekar dan teman- temannya sudah harus pulang dengan menggendong rumput di punggungnya. Setelah memberi makan kambing dengan rumput yang dibawanya, Sekar pun segera mandi meski selalu merintih ketika luka yang terkena goresan rumput berduri tersiram air.
Masalah akan datang ketika musim kemarau tiba, dimana pada saat itu di wilayah Kedu Selatan di kaki perbukitan Menoreh, air menjadi barang yang begitu langka. Antrian panjang terjadi disatu- satunya Belik ( sumur kecil yang dibuat di daerah aliran sungai) yang ada di pinggir Kali Kidul, yang semakin sore semakin penuh sesak. Ada orang yang betul- betul mencari air dan ada pula yang ingin merasakan berperan sebagai Jaka Tarub mengintip Bidadari sedang mandi dari balik semak perdu. Dimana Sekar adalah salah satu bidadari yang menjadi sasaran favorit para Jaka Tarub kesiangan tersebut.
***
Adalah sebuah tradisi di kampung Sekar yang berstatus Desa Tertinggal, bahwa remaja putri yang berusia 15 tahun sudah menjalani pernikahan. Selain karena faktor putus sekolah, entah faktor apalagi yang menyebabkan mereka kawin muda. Ada orang yang mengatakan bahwa nafsu sex orang desa lebih tinggi dari pada orang kota, karena media hiburan orang desa teramat kurang, sehingga sex merupakan satu- satunya hiburan bagi mereka. Meski peryataan tersebut perlu survei dan kajian ilmiah  lebih lanjut.
Berbeda halnya dengan Sekar, meskipun ia bergelar Bunga Desa secara Honouris Causa belum ada pemuda desa atau orang tua dari seorang pemuda datang melamarnya. Sepertinya para pemuda sudah cukup puas dengan hanya memandang ciptaan Tuhan Yang Maha Sempurna. Atau bisa saja para pemuda merasa tidak akan sanggup mempunyai istri seorang Sekar. Bukan karena masalah ekonomi atau materi, tetapi ini adalah masalah hati dan perasaan. Bisa- bisa seumur hidupnya akan sengsara, siapa yang sanggup mengendalikan perasaan hatinya jika mempunyai istri secantik Sekar. Pastilah di luar banyak orang yang memandang dan begitu menginginkannya.
Sekar Wangi adalah anak kedua dari Suwito dan Jamilah. Ia mempunyai adik perempuan yang bernama Wulan yang masih duduk di bangku kelas enam SD, dan mungkin saja jenjang tersebut adalah jenjang tertinggi dan terakhir sekaligus satu- satunya bagi Wulan. Keduanya sama cantiknya, mereka cuma selisih umur 2 tahun. Kecantikan mereka merupakan warisan genetik dari ibunya sesuai dengan hukum Mendel tentang hereditas (keturunan). Rupanya gen (pembawa sifat) Jamilah bersifat dominan terhadap gen suaminya.
Wulan pula yang akan mewarisi gelar bunga desa sepeninggal Sekar ketika sudah membangun rumah tangga nantinya. Anak pertama Suwito dan Jamilah bernama Istikomah. Meskipun cantik, Istikomah tidak sempat menyandang predikat sebagai bunga desa, karena diusianya yang masih 14 tahun dia sudah menikah.
Untung saja adik pak Kyai Natsir menolong Istiqomah yang saat itu sudah hamil karena perbuatan pak Marlan yang tega merenggut kesucian Istikomah yang  merupakan tetangganya sendiri. Setelah melahirkan, Istikomah dinikahi oleh Hasim adik pak kyai.
***
“Maafkan ibu nak, bolehkah ibu bertanya ?” ucap Jamilah sambil membelai rambut sekar yang panjang dan hitam lebat.
“Mengapa tidak boleh ibu ?” jawab Sekar.
Setelah menarik nafas panjang, Jamilah pun bertanya: “Apakah engkau sudah memiliki pilihan sebagai pendamping hidup ?”
“Ibu ! apa maksud ibu ?”
jawab Sekar yang begitu terkejut dengan pertanyaan ibunya.
“Maafkan ibu Sekar, apakah Sekar belum berkeinginan untuk membangun sebuah rumah tangga ?” jelas Jamilah. “Sekarang usia Sekar hampir 16 tahun. Apakah engkau tidak malu jika dikatakan sebagai perawan tua ?” lanjutnya.
“Apakah ibu menyuruh Sekar untuk segera menikah ?” ucap Sekar balik bertanya.
“Maksud ibu bukan begitu. Ibu hanya mau mengingatkan bahwa zaman ini sudah tidak semakin jelas saja. Banyak...” Jamilah tiba- tiba berhenti dan tidak melanjutkan perkataannya.
“Banyak apa bu ? banyak bayi yang lahir tanpa kejelasan siapa ayahnya ?” ucap Sekar menimpali perkataan ibunya.
“Betul begitu anakku.” Jawab Jamilah. “Dan salah satunya adalah kejadian yang menimpa Istikomah kakakmu.” Lanjutnya.
“Maafkan Sekar bu, sepertinya Sekar belum bisa memenuhi keinginan ibu. Sekar belum siap untuk menikah, dan Sekar masih mempunyai keinginan yang belum terwujud dalam hidup ini.” Jelas Sekar panjang lebar.
“Kalau boleh ibu tahu, apakah keinginan itu anakku ?” tanya Jamilah.
“Maafkan Sekar bu, untuk saat ini keinginan tersebut masih menjadi rahasia. Hanya Sekar sendiri yang boleh tahu.” Jawab Sekar.
“Mengapa bisa begitu ? Siapa tahu ibu dapat membantu untuk mempercepat mewujudkan keinginanmu itu.”
“Apa yang ibu katakan betul. Tapi keinginan tersebut masih Sekar pertimbangkan secara masak- masak. Nanti kalau sudah waktunya, pasti Sekar sampaikan pada ibu.”
Jelas Sekar.
“Baiklah. Ibu tidak akan memaksa.” Jawab Jamilah. “Hanya satu hal yang perlu Sekar tahu, bahwa kedua orang tuamu tidak ingin engkau bernasib seperti kakakmu.” Lanjut Jamilah lembut tapi tegas.
Mendengar perkataan dari ibunya tersebut, Sekar menjadi tercenung. Ia terdiam dan memikirkan apakah keinginannya untuk mencari penghidupan yang lebih layak dengan keluar dari kampung halamannya, merupakan langkah yang tepat atau tidak.
Sekar begitu sedih ketika melihat ayahnya yang pagi- pagi buta sudah memanjati pohon nira. Sehabis itu, ia masih rela untuk menjemur tubuhnya di sawah orang lain seharian penuh sebagai kuli cangkul. Semuanya itu hanya untuk menghidupi keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
“Sampai kapan bapak akan terus bekerja seperti ini ?” tanya Sekar sehabis menerima bumbung dari tangan bapaknya.
“Sampai bapak tidak tinggal di dunia ini lagi.” Jawab bapaknya. “Satu hal yang perlu kamu tahu nak, bapak ikhlas dan senang dengan pekerjaan bapak ini, jadi bapak menikmati pekerjaan bapak.” Lanjutnya memberi nasehat.
“Maksud bapak ?” tanya Sekar ingin tahu.
“Jika engkau mempunyai pekerjaan, apapun pekerjaan itu, cintailah pekerjaanmu itu. Bekerjalah dengan ihlas, niscaya hasilnya akan sempurna karena telah bekerja tanpa pamrih. Tapi ingat, syaratnya pekerjaan tersebut adalah pekerjaan halal.” Terang Suwito yang kemudian mengambil cangkul untuk pergi ke sawah.


 
   Bab. 2.
 Flying With A Dream
( Menggapai Sebuah Mimpi )


Kemiskinan yang diakibatkan kebodohan atau memang karena kebodohan yang disebabkan oleh kemiskinan sering menjadi lebih kompleks ketika didukung dengan ekstrem-nya kondisi alam seperti yang terjadi di wilayah Kedu Selatan. Jadi sangatlah beralasan jika hampir semua pemuda dan pemudi desa tidak mau tinggal di kampung mereka yang diselimuti oleh kemiskinan. Meskipun paling tinggi hanya bermodal ijazah SMP, mereka berprinsip bahwa untuk keluar dari siksaan kemiskinan berarti harus keluar dari kampung halaman ini.
Tidak ubahnya dengan Sekar, ia pun memiliki keinginan kuat untuk keluar dari kampungnya demi terlepas dari siksaan kemiskinan. Ia pun harus berjuang keras untuk meyakinkan orang tuanya agar mau memberi restu untuk meninggalkan lorong kemiskinan kampungnya.
“Sekar.., tidakkah lebih baik engkau menikah saja ?” Kata ibunya sambil berlinang air mata. “ Apa yang engkau inginkan ? Semua wanita akan bernasib seperti ibumu ini, jadi jangan melawan kodrat.” Lanjut ibunya memberi penjelasan panjang lebar.
“Sekar ingin membahagiakan ibu dan bapak.” Ucap Sekar lirih.
“Jadi inikah yang engkau maksud dengan cita-cita hidup yang engkau rahasiakan dulu itu ?” tanya Jamilah.
“Benar bu. Dan sesuai janji Sekar, sekaranglah saatnya untuk menyampaikan ini kepada bapak dan ibu.” Jawab Sekar.
“Mau jadi apa ? Engkau jangan mimpi ! Sadarlah Sekar, engkau hanya lulusan SD !” Kembali ibunya memperingatkan.
“Sekar pun bahagia menjadi pembantu rumah tangga.”  Ucap Sekar polos. “Bukankah bapak pernah menasehati Sekar supaya mencintai apapun jenis pekerjaannya asalkan halal ?” lanjut Sekar.
***
Masih basah ingatan para orang tua di kampung tersebut, ketika Darmiyati yang ingin memperbaiki nasib diri dan keluarganya dari jeratan kemiskinan. Dengan berhutang pada seorang rentenir, ia pun mendaftarkan diri menjadi TKW ( Tenaga Kerja Wanita). Setelah enam bulan dikarantina, akhirnya Darmiyati dikirim menjadi TKW ke sebuah negara kawasan Timur Tengah, tepatnya Saudi Arabia. Ketika berpamitan pada orang tuanya, Darmiyati tidak akan berlama- lama di Arab, cukup dua tahun saja sesuai kontrak.
Belum genap dua tahun ( tepatnya masih 8 bulan) Darmiyati menggapai mimpi di Arab Saudi, tiba- tiba ia sudah pulang ke kampung halamannya. Orang sekampung mengira bahwa tidak sampai dua tahun ternyata Darmiyati sudah sukses. Buktinya ia sudah kembali ke kampung untuk membuka usaha dari modal kerjanya sebagai TKW, seperti yang diangankannya selama ini. Kepulangan Darmiyati sangat membuat penasaran seluruh warga kampung. Mereka sudah tidak sabar untuk segera melihat bau dan bentuk uang Real yang dibawa Darmiyati. Selain itu, mereka juga tidak sabar lagi untuk mendengar cerita Darmiyati tentang kemudahan mencari uang di Arab Saudi.
Tapi, semua yang berkunjung ke rumah Darmiyati amat tercengang, hati dan pikiran mereka diselimuti dengan berbagai pertanyaan yang tidak dapat mereka lontarkan, sehingga mulut mereka hanya ternganga. Bagi yang spiritualnya lumayan bagus segara ‘nyebut’ pada Yang Maha Kuasa meski hanya dalam hati, ketika melihat mata Darmiyati yang kelelahan penuh arti dan tubuh kurus yang sepertinya sedang menceriterakan penderitaan yang belum pernah ia derita sebelumnya.
“Mengapa keadaanmu menjadi seperti ini nak ?” tanya mbok Bariyah memecah keheningan suasana di rumah tersebut.
“Entahlah mbok, mengapa aku sampai disiksa oleh majikan dan anak laki- lakinya.” Jawab Darmiyati dengan suara lemah.
“Apakah kita ini adalah budak yang telah mereka beli ? Sehingga mereka semau sendiri memperlakukan kita ? Bukankah sistem perbudakan telah dihapuskan semasa Nabi junjungan kita Muhammad SAW ?” ucap mbok Bariyah yang sudah 87 tahun tersebut masih tak mengerti juga, mengapa perbudakan ternyata masih ada.
“Aku sendiri juga tidak tahu mbok.” kata Darmiyati. “Tapi saya masih untung daripada yang lain. Temanku yang dari Purbalingga malah pulang hanya tinggal nama.” Lanjutnya.
Sesaat suasana menjadi hening, saat itu pula Darmiyati berkata lagi; “Saya juga ingin berpesan pada warga kampung ini. Jika tidak mempunyai kemampuan bahasa dan keahlian, berpikirlah seribu kali sebelum meninggalkan kampung ini.” Ucap Darmiyati memberi pesan.
Semua yang dibayangkan warga kampung, ternyata tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Bukan berita gembira yang mereka dapatkan, melainkan rasa keprihatinan. Begitu prihatinnya sehingga para warga kampung tidak ada yang sampai hati menanyakan kejadian apa yang menimpanya lebih lanjut. Walaupun tidak diputuskan melalui rapat musyawarah, sepertinya seluruh warga kampung sepakat untuk tidak menanyakan apa sebab musabab masalah yang menimpa Darmiyati. Biarlah hanya Darmiyati dan bekas majikannya yang tahu. Mungkin saja Darmiyati ‘kuwalat’ dengan Heraclitus, karena Darmiyati sering meminjam ungkapannya Heraclitus tanpa izin untuk diomongkan pada warga kampung, bahwa tidak ada yang tetap di dunia ini melainkan perubahan. Itulah olok- olok yang sering dilontarkan warga kampung pada Darmiyati. “Awas Dar, nanti bisa kuwalat dengan pak Heraclitus !”.
Mengapa Darmiyati bisa meminjam ungkapannya Heraclitus ? Bukankah warga kampung ini tidak sekolah sampai tingkat tinggi ? Itulah Darmiyati, ia memang bukan anak asli kampung dimana Sekar tinggal. Meski sudah sepuluh tahun ini Darmiyati tinggal di kampung Sekar, itu karena ia ikut neneknya. Darmiyati mendapat kata- kata tersebut dari anak Pak De nya yang tinggal di Jakarta yang dua atau tiga tahun sekali mudik lebaran ke kampung tersebut.
Seperti halnya dengan warga lainnya, Suwito ayah Sekar memaknai kejadian yang dialami Darmiyati sebagai catatan sejarah untuk pembelajaran bagi anak- anak perempuannya. Itulah sebabnya sampai saat ini orang tua Sekar tidak mengizinkannya untuk pergi ke Jakarta. Namun usaha Sekar untuk mewujudkan mimpinya tidak berhenti ditengah jalan. Setiap malam Sekar selalu merengek dengan berbagai alasan dan penjelasan kepada kedua orang tuanya.
***
Entah merupakan sebuah kebetulan atau apa, tiba- tiba ayah Sekar kehilangan keperkasaannya untuk menyadap nira dari pohon kelapa seperti biasanya. Setelah dipanggilkan seorang ‘mantri’ kesehatan, ternyata Suwito menderita hernia. Kemungkinan besar ini disebabkan rutinitas Suwito yang rajin naik turun pohon kelapa sehari dua kali selama puluhan tahun untuk mengambil nira. Kini tulang punggung keluarga telah roboh, mau tidak mau Sekar bersama ibunya harus tetap mempertahankan eksistensi (keberadaan) keluarganya. Selain setiap hari harus mencari rumput, kini Sekar juga ikut buruh ‘tandur’ atau menanam padi. Lintah yang sering menggerayangi kakinya adalah suatu hal yang biasa, meskipun pada awalnya Sekar pernah menjerit hingga membuat para buruh tandur sangat kaget ketika seekor lintah sebesar ibu jari menempel kuat di pahanya.
Sebulan dua bulan, Sekar sanggup menjalani pekerjaannya tersebut, tetapi sekarang ia sudah tidak mampu lagi. Baginya pekerjaan tersebut terlalu berat bagi gadis yang berusia 16 tahun. Malam itu, Sekar memutuskan untuk minta izin agar diperbolehkan mencari kerja di Jakarta pada kedua orang tuanya.
“Pak.., Bu.., Sekali lagi ijinkan Sekar untuk mencari kerja di Jakarta ya ? Sekar tidak kuat lagi kalau kerja begini terus.” Pinta Sekar dengan wajah memelas pada kedua orang tuanya.
“Sebetulnya bapak dan ibu tidak ingin Sekar ikut buruh tandur. Biarlah ibumu saja.” Kata ibunya mewakili berbicara. “Masih ingatkah Sekar dengan kejadian yang menimpa Darmiyati ?” lanjutnya.
“Tentu saja Sekar masih ingat, maka dari itu Sekar akan berhati- hati kalau merantau.” Jawab Sekar.
“Siapa yang akan membawa kamu ke Jakarta ?” Ibunya pun bertanya.
“Mas Mardi, Bu. Kata mas Mardi majikannya masih butuh pembantu.” Kata Sekar menjelaskan.
“Tapi ingat, meski seorang perempuan kamu harus bisa mikul dhuwur mendem jero pada kedua orang tuamu ini !”  kata ibu Sekar memberi nasehat.
“Akan Sekar ingat semua nasehat ibu.” Jawab Sekar.
Dengan perasaan yang masih bimbang yang bercampur dengan rasa kasihan bila Sekar harus bekerja kasar di kampung, akhirnya kedua orang tua Sekar merelakan anak perempuannya tersebut untuk memperbaiki nasibnya di Jakarta.
***
“Tolong Sekar selalu diawasi ya mas Mardi !” Kata Jamilah sambil menyalami mas Mardi. “Oh ya, Sekar kan belum berpengalaman. Kalau ada yang tidak dimengerti olehnya dalam pekerjaan, jangan lupa arahannya.” Lanjutnya.
“Sekar kan sudah dewasa bu Lek. Pekerjaannya juga didalam rumah kok.” Jawab mas Mardi. “Kami berangkat dulu. Mohon doa-nya bu Lek !” Lanjut mas Mardi yang kemudian masuk ke mobil yang dibawanya.

    Bab. 3.
Just A Dream
( Hanya Sebuah Mimpi )

Pada hari ke tujuh lebaran, Sekar bersama mas Mardi  berangkat ke Jakarta. Untunglah Sekar tidak perlu mengantri berdesak- desakan di stasiun atau terminal bis bersama penumpang arus balik lainnya, karena setiap lebaran mas Mardi selalu membawa mobil majikannya untuk mudik. Dengan membawa sebuah tas kecil yang berisi beberapa potong pakaian pribadi, Sekar telah siap untuk merangkai mimpi dan harapannya. Ia tidak mengira bahwa mimpinya untuk pergi ke Jakarta bisa terwujud.
Bagi Sekar, ternyata perjalanan dari Kedu Selatan ke Jakarta begitu melelahkan, disepanjang perjalanan penuh sesak dengan kendaraan dan macet. Sehingga pada hari pertama setelah tiba di Jakarta, digunakan Sekar untuk beristirahat. Ini sesuai dengan anjuran mas Mardi, selain itu karena memang belum ada yang perlu dikerjakan karena tuan dan nyonya belum kembali dari liburannya di Australia. Kalau sesuai jadwal kepulangan tuan dan nyonya adalah besok sore.
Pada keesokan paginya, barulah mas Mardi memperkenalkan Sekar pada majikannya. Setelah tuan dan nyonya berbasa- basi sebentar, akhirnya Sekar diberi tugas untuk urusan dapur. Mulai dari berbelanja bahan- bahan mentah hingga mengolahnya menjadi makanan siap santap. Selain itu, tugas tambahan Sekar adalah mencuci piring beserta gelasnya maupun segala jenis peralatan dapur yang habis dipergunakan.
Dari yang Sekar tahu dari mas Mardi, majikan Sekar adalah seorang pengusaha bebatuan alam dan mempunyai beberapa super market bahan bangunan di beberapa kota besar. Mas Mardi sendiri adalah sopir pribadi yang khusus mengantar majikan laki- laki untuk urusan bisnis. Sang nyonya juga mempunyai sopir pribadi sendiri untuk segala aktivitasnya, seperti arisan, fitnes maupun spa. Sopir yang khusus mengantar anak- anak majikan juga ada sendiri. Selain mengantar jemput anak-anak sekolah, mas Pur juga sopir yang ditugasi untuk mengantar Sekar pergi berbelanja bahan pokok makanan ke pasar.
Jumlah pembantu yang dimiliki tuan dan nyonya semuanya berjumlah tujuh orang. Empat orang berjenis kelamin laki- laki dan tiga orang lainnya berjenis kelamin perempuan. Ke empat pembantu laki- lakinya terdiri dari mas Mardi, mas Pur, dan mas Yitno dimana ketiga- tiganya merupakan sopir. Laki- laki satunya lagi bernama mas Rois yang bekerja sebagai tukang kebun. Sedangkan pembantu perempuan terdiri dari mbok Ijah, Sekar dan seorang babby sitter yang bernama Siti.
Kini setiap hari Sekar mempunyai rutinitas untuk bertanggung jawab mengenai masalah dapur. Setiap hari Sekar harus pergi berbelanja ke pasar untuk mencari barang- barang yang ada di daftar menu pesanan nyonya. Setelah dari pasar, Sekar langsung memasak bahan- bahan tersebut untuk kebutuhan perut seluruh penghuni rumah. Urusan masak- memasak memang bukan sesuatu hal yang baru bagi Sekar, namun ia masih sering mendapat teguran dari sang nyonya ketika ada bahan- bahan yang tidak di beli oleh Sekar. Yang baru bagi Sekar adalah jenis- jenis sayuran atau bumbu yang belum pernah didengar apalagi sampai dimasak oleh Sekar semacam corned beef, saus tiram, paprika, spaghetti dan nama- nama aneh lainnya.
Sesuatu hal yang aneh juga bagi Sekar adalah tentang ke dua majikannya. Sang tuan jarang sekali di rumah, bahkan bisa berminggu- minggu. Kalaupun di rumah, paling hanya sehari dan itupun terus pergi lagi. Kesimpulannya selama Sekar ada di rumah tersebut, tuan belum sekalipun mencicipi hasil masakan Sekar. Ketika Sekar menanyakan tentang perangai tuan pada mbok Ijah yang sudah sepuluh tahun tinggal di rumah tersebut, mbok Ijah hanya menjawab karena tuan sibuk dengan urusan bisnis yang dikelolanya. Sekar pun hanya mengangguk- anggukkan kepalanya, meski ia bingung karena belum paham apa itu bisnis, dan ketika Sekar ingin memperjelas tentang apa itu bisnis, mbok Ijah sudah berlalu dengan sekeranjang pakaian kotor.
Hal yang lebih menganehkan lagi adalah sang nyonya. Meskipun setiap hari nyonya order (memesan) menu masakan, tetapi nyonya sendiri tidak pernah mencicipi apalagi menyantap menu pesanan dari dapur pribadinya itu. Nyonya malah sering sarapan dengan roti atau memesan pizza lewat telpon, meskipun Sekar sudah selesai memasak menu yang telah ditentukannya. Setiap hari sepertinya selalu terburu- buru untuk segera keluar rumah, nanti pulangnya setelah larut malam atau menjelang dini hari. Entahlah..,nyonya ini sebetulnya memesan menu masakan setiap hari untuk siapa.
Tuan dan nyonya jarang sekali bertemu, dan belum pernah bertengkar ketika suatu saat keduanya bertemu. Ini mungkin ibarat pepatah: Sering Bertemu Sering Bertengkar- Tak pernah Bertemu Tak Pernah Bertengkar. Tuan dan nyonya seperti saling mengerti dengan urusannya masing- masing dan masing- masing tidak saling mengganggu akan urusan masing- masing. Bagi Sekar keadaan tersebut adalah barang langka yang tidak dapat ditemukan pada Suwito dan Jamilah kedua orang tua Sekar ataupun di seluruh pelosok kampungnya.
***
Tanpa terasa, sudah setengah tahun lamanya Sekar berada di Jakarta bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Setiap bulan Sekar digaji bersih oleh majikannya 300.000 rupiah. Bukan karena nilai uang yang membuat Sekar merasa bahagia, melainkan saat ini Sekar sudah dapat mencari uang sendiri sesuai dengan cita- citanya. Apabila dibandingkan dengan menjadi buruh tandur di kampung halamannya, tentunya menjadi pembantu rumah tangga jauh lebih baik. Selain tidak kepanasan dan bermandikan lumpur, pekerjaan di Jakarta sangat ringan. Asal pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sudah selesai, Sekar bisa memanfaatkan banyak waktu luangnya untuk nonton TV atau melakukan apapun yang ia ingin lakukan.
Selama enam bulan di Jakarta, Sekar sudah sekali mengirimkan uang kepada orang tuanya di kampung. Uang tersebut dititipkan pada mas Mardi ketika pulang ke kampung halamannya, karena sampai saat ini Sekar merasa lebih enak lewat mas Mardi dari pada lewat kantor Pos atau kantor Bank yang belum Sekar tahu betul prosedurnya. Mas Mardi memang sering pulang karena di kampung halaman tersebut ia meninggalkan seorang istri dan kedua anaknya yang masih kecil- kecil.
Seperti telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, kini Sekar betul- betul bisa mewujudkan mimpinya. Sekarang Sekar sudah berada di Ibu Kota dan bekerja pada majikan yang baik hati pula. Majikan yang sibuk dengan urusannya masing- masing. Dan yang terpenting adalah majikan yang tidak menelantarkan apalagi sampai menyiksa para pembantunya, seperti nasib para pembantu yang bekerja di luar negeri. Oh...sungguh ngeri jika mengingat catatan sedih seorang Darmiyati.
Keinginan Sekar tidaklah muluk- muluk, karena ia sadar akan modal intelektual formalnya. Dengan menjadi seorang pembantu, Sekar ingin membahagiakan kedua orang tuanya dan itulah cita- cita tertingginya. Karenanya Sekar berada di Jakarta, kota yang sangat jauh berbeda sekali dengan kampung halamannya. Lampu ibu kota begitu gemerlap dan suasana tetap ramai meski sudah larut malam. Sepertinya Jakarta adalah kota yang tak pernah tertidur. Ini berbeda sekali dengan kampung halamannya yang selepas waktu Isya’ akan begitu sepi bagikan kampung mati. Seluruh warga kampung tertidur pulas karena seharian penuh tenaga mereka diperas demi seliter beras agar masih bisa terus bernafas.
Nonton TV atau memutar film dengan player adalah kebiasaan baru Sekar. Ini adalah acara wajib yang dijadikan sebagai acara berkumpulnya para pembantu,  setelah para pembantu tersebut menyelesaikan tugasnya masing- masing. Selain aktivitas nonton tersebut, kadang Sekar bersama para pembantu lainnya ber- JJS (Jalan- Jalan Sore) ke luar rumah. Mulai dari benar- benar berjalan kaki hingga naik metromini ke sebuah pusat perbelanjaan. Sekali lagi tuan dan nyonya tidak akan marah, nyatanya kegiatan tersebut sudah berlangsung bertahun- tahun dan turun- temurun dari pembantu ke pembantu berikutnya. Yang penting pekerjaan sudah beres, selain itu tuan dan nyonya bukan tipe majikan galak apalagi penyiksa. Mana sempat mereka menyiksa, lha wong tidak pernah di rumah. Ibarat pepatah, sambil menyelam minum air. Selain bisa mewujudkan mimpinya bekerja di Jakarta, Sekar juga bisa menambah pengalaman dengan JJS hingga kini Sekar tahu sudut- sudut ibu kota.


    Bab. 4.
Withered Rose
( Layu Sebelum Berkembang I )


Entah karena hanya suatu kebetulan atau memang suratan takdir, dari prosesi JJS (Jalan- jalan Sore) tersebut Sekar bertemu dengan Suparno. Seorang pemuda dari kampung halamannya. Mas Parno, begitulah Sekar memanggil tetangganya tersebut. Mas Parno sudah lama bekerja di Jakarta, yaitu sudah lima tahun. Pertemuan antara Sekar dan mas Parno terjadi di pasar Tanah Abang. Di perantauan, bertemu dengan orang sekampung halaman berarti bertemu dengan saudara. Maka setelah saling sapa dan tanya dalam rasa senasib seperantauan, keduanya pun menghabiskan gelap senja di sebuah warung Bakso di pelataran pasar.
Dari tanya dan sapa tersebut, ternyata mas Parno bekerja di wilayah Kebon Jeruk juga. Mas Parno bekerja sebagai Office Boy di kantornya yang bergerak di bidang jasa tersebut. Oleh karena dalam satu kawasan, mas Parno kini sering mampir ke rumah dimana Sekar bekerja meski hanya sebentar- sebentar.
Setelah hampir sebulan mas Parno ke rumah Sekar bekerja, kini mas Parno juga mulai sering mengajak Sekar untuk lebih mengenal Jakarta. Jika selama ini Sekar JJS nya bersama dengan pembantu lainnya, maka sekarang Sekar bersama mas Parno untuk menyusuri lorong- lorong Jakarta.
“mbok Ijah, Sekar saya ajak jalan dulu ya !” Pamit mas Parno pada mbok Ijah sang pembantu paling senior di rumah tuan dan nyonya.
“mbok kalau pulang bawa oleh- oleh ! masak tangan kosong terus !” Balas mbok Ijah.
“Jangan khawatir mbok ! nanti aku belikan kacang goreng !” Ledek mas Parno.
“ Sontoloyo ! mau membuat mbok Ijah sakit gigi ya !” gerutu mbok Ijah. “Sudah tahu giginya sudah goyang- goyang semua, kok malah mau dikasih kacang !” gerutu mbok Ijah masih berlanjut.
“Iya ! Iya ! nanti saya belikan Tahu yang empuk. Gitu aja kok marah !” kata mas Parno sambil menahan tawa.
Setelah beberapa bulan tinggal di Jakarta, banyak perubahan yang terjadi pada diri Sekar. Kulitnya yang putih makin bersih, wajahnya makin cantik dan tubuhnya makin berisi, tidak kurus kering seperti kala ia datang. Teman- teman sesama pembantu sering meledek Sekar, bahwa ia cocoknya bukan jadi pembantu tetapi jadi nyonya alias sang majikan.
“Waahh...kalau aku jadi kamu, tuan akan aku rayu biar dijadikan istri mudanya.” Ledek Siti sang baby sitter.
“Biar tiap hari perang Baratayuda dengan istri tua, yang penting jadi istri orang kaya !” Timpal mbok Ijah. “ Tapi bagaimana dengan nasib si Parno ya ?” Lanjut mbok Ijah menyindir Sekar.
“ Mas Parno kan saudara sekampung mbok !” kata Sekar membela diri.
“Pepatah Jawa kan mengatakan bahwa witing tresno jalaran saka kulina. Lagi pula orang bersuami istri ada yang Pek Lur, Pek Co, Pek Nggo bahkan Pek Rid. Iya kan Ti ?” kata mbok Ijah sambil tersenyum penuh arti pada Siti.
“Betul mbok ! Nyatanya kakakmu yang bernama Istikomah Pek Nggo juga.” Kata Siti pada Sekar.
Sebagai orang yang lebih dulu tua dari pada Sekar, mbok Ijah rupanya tahu bahwa Sekar sudah mulai tertarik dengan lawan jenis. Kalau menurut bahasa Siti, yang pernah sekolah sampai SMP, Sekar sedang mengalami proses perkembangan atau memasuki masa pubertas.
Sekar sendiri menyadari dengan keanehan yang sedang terjadi pada dirinya. Kini ia banyak melamun dan entah mengapa disetiap ujung dari lamunannya adalah mas Parno. Apakah ini karena mas Parno yang terlalu gencar datang menemuinya setiap hari atau apa, Sekar sendiri menjadi bingung. Di dasar lubuk hatinya, Sekar memang membutuhkan hadirnya sosok lawan jenis yang bisa melindunginya dan tempat untuk membagi perasaannya. Akan tetapi perasaan akan mas parno selalu berusaha ditepisnya. Sehingga sampai saat ini mas Parno masih dianggap sebatas saudara sekampung lagi seperjuangan di rantauan.
Sudut pandang Sekar dalam memaknai keberadaan mas Parno ternyata berbeda sama sekali dengan sudut pandang mas Parno terhadap keberadaan Sekar bagi mas Parno. Hal ini terungkap ketika mas Parno menyatakan rasa cintanya pada Sekar di bawah tugu Monas.
“Sekar, sebetulnya sudah lama aku memendam perasaan ini. Bahkan sejak aku masih di kampung.” Kata mas Parno menyuarakan perasaannya.
“Maaf.. aku tidak bisa mas, karena aku baru tiba di sini dan niatku hanya untuk mencari uang. Aku belum berpikir ke arah pernikahan.” Jawab Sekar.
“Aku tidak memintamu untuk menikah sekarang juga, tapi aku hanya ingin memberitahu bahwa aku mencintaimu dan engkau mau menerima cintaku ini.” Jelas mas Parno.
“Aku jadi bingung mas, aku tak tahu harus berbuat dan berkata apa...” Ucap Sekar kebingungan.
“Mungkin kau butuh waktu untuk menjawabnya dan aku akan tetap sabar menanti jawabannya.” Kata mas Parno menutup pembicaraan.
***
“Mengapa hanya mondar- mandir di dapur ? apa ada bumbu yang masih kurang ?” Tanya mbok Ijah yang melihat Sekar seperti orang kebingungan.
“Ahh...tti..tidak mbok.” Kilah Sekar tergagap. “Sekar hanya merasa kurang enak badan.” Lanjut Sekar.
“Waahh...kebanyakan jalan- jalan sama mas Parno tuh !” Ledek Siti yang tiba- tiba muncul di dapur. “Eehh...tapi mengapa sudah lebih dari sebulan mas Parno tidak pernah datang lagi ke sini ?” Lanjutnya.
“Maaf ya mbok, Sekar mau istirahat dulu, rasanya kok pusing sekali.” Pamit Sekar pada mbok Ijah.
Pada pagi harinya, mbok Ijah dan Siti mendengar suara Sekar yang sedang muntah- muntah dari dalam kamarnya. Keduanya pun segera berlari menuju kamar Sekar dan tanpa bertanya- tanya lagi, mbok Ijah segera melumuri Sekar dengan balsem agar tubuhnya hangat.
“Ada apa ini ? kok rame- rame disini ?” Tanya nyonya yang tiba- tiba muncul di kamar tersebut.
“Sebaiknya nyonya istirahat dulu, kan baru pulang. Sekar hanya masuk angin saja kok.” Jawab mbok Ijah.
“Kalau masuk angin badannya panas mbok, ini kan tidak panas. Sebaiknya dibawa ke Rumah Sakit saja.” Kata nyonya setelah meraba kening Sekar.
“Yitno ! Antarkan Ibu dan Sekar ke Rumah Sakit cepat !” Teriak nyonya pada sopir pribadinya. “Mbok Ijah, kamu ikut mengantar Sekar !” Lanjut nyonya.
Sesampainya di Rumah Sakit, Sekar pun diperiksa oleh dokter.
“Selamat nyonya ! puteri anda positif.” Kata dokter usai memeriksa Sekar.
“Maksud dokter hamil ? sudah berapa bulan ?” Tanya nyonya minta penjelasan.
“Baru 2 minggu.” Jawab dokter. “Jangan lupa jaga kesehatan.” Lanjutnya kemudian.
“Terima kasih dok.” Kata nyonya sambil berpamitan.
Selama dalam perjalanan kembali ke rumah, tidak ada seorangpun yang berkata- kata. Semuanya diam. Yang dapat mereka lakukan hanyalah menduga- duga mengapa masalah ini terjadi dan kemungkinan apa sebabnya.
“Sekar, ibu hanya ingin tahu dan jawablah dengan jujur. Siapakah yang telah berbuat semua ini kepadamu ?” Tanya nyonya. “Usia kehamilanmu baru 2 minggu, itu berarti prosesnya terjadi selama kamu berada di Jakarta ini.” Lanjutnya sambil menatap mata Sekar lekat- lekat.
“Ti..tid...tidak tahu nyonya...” Jawab Sekar terbata- bata yang kemudian diiringi isak tangis.
“Sekar jangan takut. Ibu tidak akan memarahi atau menghukum kamu.” Jelas nyonya. “Siapa yang telah berbuat semua ini ?” Lanjutnya.
“Mas Pa...Par...Parno.” Jawab Sekar sambil tertunduk.
“Siapa itu mas Parno ? Kok ibu tidak kenal ?” Tanya nyonya penuh keheranan.
“Tetangga kampungnya Sekar nyonya. Mereka kebetulan beretemu ketika sedang jalan- jalan sore.” Jelas mbok Ijah yang dari tadi hanya diam.
“Kalau begini, masalah menjadi jelas.” Kata nyonya lega. “Karena Sekar sedang hamil, maka harus menjaga kesehatan. Harus banyak istirahat. Sebaiknya Sekar pulang kampung dulu.” Lanjut nyonya.
“Ta...tapi...”
“Sekar tidak usah khawatir, kalau sudah lahiran kamu bisa kembali kerja disini. Yang penting sekarang kondisi kehamilanmu harus dijaga. Iya kan mbok ?” Kata nyonya memotong perkataan Sekar sambil mengedipkan mata ke arah mbok Ijah.
***
Minggu dini hari, Sekar pulang ke kampung halamannya diantar oleh mas Mardi. Kepulangan Sekar membuat kedua orang tuanya bertanya- tanya, apalagi setelah melihat wajah Sekar tidak menyiratkan aura kebahagiaan. Kedua orang tua Suwito dan Jamilah langsung pingsan begitu mas Mardi menjelaskan duduk persoalan mengapa ia mengantar Sekar pulang. keadaan ini membuat mas Mardi kebingungan, yang akhirnya ia berteriak minta tolong kepada tetangga sekitarnya.
“Ada apa mas mardi ?! Kok berteriak- teriak minta tolong ?!” tanya mas Cipto begitu sampai di rumah Suwito.
“Ini pak Wito dan istrinya pingsan !” jawab mas Mardi.
“Kenapa mereka berdua bisa pingsan secara bersamaan ? apa mereka janjian untuk pingsan bersama ? Romantis sekali kalau begitu !”
“Huss ! jangan ngaco gitu ! ceritanya panjang. Yang penting bantu aku mengangkat pak Wito dan istrinya ke tempat tidur.” Pinta mas Mardi.
“Pak, bu ! tolong pak Wito dan istrinya ini segera dibuat sadarkan diri !” kata mas Cipto pada tetangga yang berdatangan.
Tetangga yang datang langsung mengurut, memijat dan memberi wewangian ketika melihat tubuh Suwito dan istrinya terlentang tidak bergerak di atas kursi kayu ruang tamu. Setelah suasana kebingungan tersebut agak reda, mereka begitu terkejut ketika melihat Sekar duduk terdiam di atas dingklik yang ada di sudut ruang tamu. Wajahnya pucat dan air matanya menetes. Kini suasana rumah tersebut menjadi sunyi senyap dan semua pasang mata tertuju pada Sekar dengan menyorotkan sejuta tanya yang menginginkan sejuta jawab. Namun mulut mereka seperti terkunci, hingga tidak mampu melontarkan sepatah kata pun.
Tanpa melalui jalan musyawarah atau sistem voting, akhirnya mereka menemukan sebuah kesepakatan bahwa Sekar sedang mengalami kesusahan dan karena itulah Suwito dan istrinya pingsan.
Selang beberapa saat, setelah melihat Suwito dan istrinya sadar, semua tetangga berpamitan meninggalkan rumah tersebut tanpa berani menanyakan masalah apa sesungguhnya yang menimpa Sekar hingga membuat mereka berdua bisa pingsan. 
 Akhirnya setelah selang sehari dan tanpa mencari informasi langsung dari keluarga Suwito, warga sudah tahu mengapa Sekar pulang dari Jakarta. Informasi begitu cepat menyebar karena didukung pula oleh mas Mardi yang memang terkenal suka berolah kata alias senang omong.
Orang tua Sekar menjadi begitu terpukul ketika mendengar bisik- bisik tetangga bahwa Sekar si perawan kembang desa pergi ke Jakarta hanya untuk menjual kecantikannya. Sungguh orang tua Sekar masih tidak percaya dengan apa yang terjadi dengan anak gadisnya.
Akhirnya orang tua Sekar ingin mengetahui kisah pilu ini dari mulut Sekar sendiri. Malam itu, Sekar diinterogasi oleh kedua orang tuanya mengapa ia kembali ke kampung halamannya begitu cepat dan apakah kabar yang beredar di kampung bahwa Sekar hamil benar adanya.
Dari bibir Sekar yang merah dan mata yang basah, Sekar menceriterakan bahwa kejadian ini bermula dari pertemuannya dengan mas Parno.
“Jadi benar semua kejadian ini ?!” Tanya Jamilah ibu Sekar masih tak percaya.
“Maafkan Sekar bu...” Ucap Sekar terisak sedu -sedan. “ Setelah beberapa lama Sekar bertemu dengan mas Parno, ia menyatakan cintanya. Dan entah mengapa Sekar menerimanya.” Lanjut Sekar sambil menyeka air matanya yang terus mengalir.
“Hanya dengan menyatakan cinta terus kamu hamil ?!” Potong Jamilah yang semakin dalam kebingungan.
“Kalau disuruh menceriterakan semua kejadiannya, Sekar tidak sanggup lagi bu...” Pinta Sekar lirih.
“Yang bapak dan ibu maksud bukan proses perbuatan mesum kamu, tapi benarkah bayi yang kamu kandung tersebut karena perbuatan bejat Parno ?!” Sergah Jamilah dengan tidak sabar.
“Benar bu. Entah mengapa Sekar tak sanggup menolaknya ketika mas Parno bilang sangat mencintai Sekar dan ingin membuktikan buah cintanya pada Sekar.” Jelas Sekar menyesali nasib dirinya.
“Sekar...Sekar. mengapa orang tuamu ini dulu tidak menyekolahkanmu ? hingga kamu tidak tahu mana utara mana selatan. Orang tua kamulah yang salah..! orang tua kamulah yang salah !!! akulah yang salah !!!!” Teriak Jamilah yang tiba- tiba menjerit- jerit seperti orang kesurupan.
“Bukan ibu dan bapak yang salah, Sekar tahu mengapa ibu dan bapak tidak menyekolahkan Sekar. Ini karena keadaan...karena ibu dan bapak tidak punya...” Kata Sekar sambil menatap ayahnya yang tergolek lemah di pembaringan karena penyakit ‘tedun’,  hingga tidak mampu lagi  melanjutkan ucapannya.
“Semuanya benar ! Yang salah adalah pendapatku ! Sekolah hanya untuk mencari ijazah guna dipajang di dinding bambu !” Teriak Suwito yang kemudian langsung pingsan.
Suasana kemudian menjadi sepi. Jamilah sibuk melumuri bagian bawah hidung suaminya dengan minyak air mata duyung supaya suaminya segera siuman, sedangkan Sekar masih sibuk dengan air matanya yang terus mengalir. Air mata penyesalan sekaligus penderitaan. Harapannya musnah karena mimpinya tidak terbeli.
“Akulah yang salah ! Akulah yang salah ! Akulah yang salah !!! Aku bodoh !!! Aku bodoh...!!!” Jerit Sekar yang kemudian pingsan akibat penyesalan dan penderitaannya.
Jamilah ibu Sekar tercekat menyaksikan keadaan tersebut. Sebentar matanya menengok ke arah tubuh Sekar dan sebentar kemudian menengok ke arah tubuh suaminya. Sejurus kemudian, matanya menatap jauh ke suatu arah yang imajiner. Suatu daerah tanpa makna.


Bab. 5. 
 Unconscious Maker
( Pembuat Pingsan )


Berita tentang kepulangan Sekar karena hamil di luar nikah terus menjadi topik yang selalu aktual disetiap sudut sawah, ngarai dan lembah yang merupakan tempat- tempat aktivitas kehidupan warga kampung. Keadaan inilah yang membuat Suwito makin sakit hingga terus terbaring tak mampu meninggalkan ranjang bambunya. Jika tidak karena terpaksa demi menyambung hidup keluarganya, Jamilah pun sebetulnya tidak mau untuk keluar rumah.
“Mengapa Sekar bisa berbuat seperti itu ?” ucap bu Rowiyah.
“Kakaknya juga seperti itu kan ?” jawab mbak Marni
“Berarti menurut mbak Marni, Jamilah juga seperti itu kan ?” ucap bu Rowiyah minta ketegasan pada mbak Marni.
“Saya tidak bilang seperti itu lho. Tapi bu Rowiyah sendiri yang menyimpulkan.” Jawab mbak Marni yang disambut tawa oleh yang lain.
“Untung saja Istikomah dinikah oleh mas Hasim. Kalau tidak...” mbak Tinah tidak melanjukan perkataannya.
“Kalau tidak dinikah oleh mas Hasim, maka akan dinikah oleh suaminya mbak Tinah !” ucap bu Rowiyah yang kemudian disambut oleh derai tawa yang lain.
Pengadilan publik lewat opini masyarakat yang selalu terdengar merupakan penderitaan terberat bagi Suwito dan keluarganya. Hal inilah yang membuat kerabat Suwito segera mengadakan rapat intern keluarga. Rapat yang difasilitatori oleh pak Sueb yang juga menjabat sebagai Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat (Kaur Kesra) tersebut, membahas langkah- langkah strategis yang harus diambil yang setidaknya bisa mengurangi aib keluarga. Akhirnya rapat tersebut menghasilkan keputusan yang intinya meminta pertanggung jawaban terhadap laki- laki yang telah membuat Sekar hamil, yaitu mas Parno atau Suparno.
Apapun yang terjadi, Sekar harus dinikahkan dengan mas Parno. Maka dari itu, pak Kaur Kesra juga didaulat untuk pergi ke Jakarta menjemput mas Parno supaya dibawa pulang ke kampung halamannya guna menghadiri sidang desa.
Setelah tiba di jakarta dan meminta bantuan mas Mardi, akhirnya pak Kaur Kesra bisa menemukan alamat kontrakan mas Parno dengan mudah.
“Maaf mas Parno, langsung saja pada pokok permasalahan, bahwa jauh- jauh saya datang ke sini adalah bermaksud menjemput mas Parno untuk kembali ke kampung.” Kata pak Kaur Kesra tanpa basa- basi.
“Maaf juga pak Kaur, kok saya tidak tahu apa maksudnya ? Terus terang saja saya malah jadi bingung.” Jawab mas Parno yang memang kebingungan.
“Apakah mas Parno tidak tahu kalau Sekar hamil ?” Pak Kaur balik bertanya.
“Apa hubungannya dengan saya ?” Balas mas Parno.
“Menurut pengakuan Sekar, mas Parno lah yang membuat Sekar menjadi keadaannya seperti itu.” Jelas pak Kaur.
Akhirnya setelah melalui sebuah perdebatan yang alot serta mas Parno kalah usia, maka pak Kaur berhasil membawa pulang mas Parno ke kampung halamannya.
“Nah...sebaiknya begitu. Ono rembug yo dirembug, ada masalah ya dimusyawarahkan biar masalah segera terselesaikan.” Kata pak Kaur menutup pembicaraan.
Setelah sampai di kampung halaman, maka tanpa melepas lelah sedikitpun langsung diadakan sidang desa. Hal ini dilakukan demi menghindari hal- hal yang tidak diinginkan. Para warga berkaca pada kejadian yang sama di kampung sebelah 2 tahun yang lalu, dimana sang laki- laki malah kabur ke Sumatera sebelum sidang dimulai. Hingga saat ini pun, tidak ada yang tahu kabar beritanya tentang laki- laki tersebut.
Sidang desa yang dilaksanakan terbuka untuk umum tersebut dihadiri oleh pihak Sekar dan keluarganya dan mas Parno beserta keluarganya. Sidang dipimpin langsung oleh kepala desa dan dimulai dengan acara persaksian masing- masing pihak. Setelah disumpah terlebih dahulu, dalam sidang tersebut Sekar menegaskan bahwa jabang bayi yang dikandungnya saat ini adalah benihnya mas Parno. Sekar juga menegaskan bahwa satu- satunya laki- laki di dunia ini yang telah menodai kesuciannya hanyalah mas Parno. Baik itu sebelum Sekar hamil atau sesudah hamil, tidak ada satupun laki- laki lain kecuali mas Parno.
Suasana persidangan tiba- tiba menjadi panas ketika mas Parno memberikan pernyataan sebaliknya dari kesaksian Sekar. Mas Parno tidak mengakui bahwa kehamilan Sekar karena perbuatan dirinya.
“Di Jakarta semua bisa saja terjadi ! Di Jakarta tidak seperti di kampung ini ! Bisa saja kehamilan Sekar bukan karena perbuatan saya seorang, tetapi oleh banyak laki- laki lain ! Saya tidak akan bertanggung jawab atas masalah ini !” Teriak mas Parno panjang lebar.
Mendengar pernyataan mas Parno yang menusuk tersebut, kembali membuat Suwito dan istrinya pingsan untuk yang kesekian kalinya. Disisi lain, Sekar disibukkan dengan air matanya. Ia merasa begitu terhina. Martabatnya terinjak- injak oleh perkataan mas parno yang secara tidak langsung menuduh dirinya perempuan murahan yang menerima banyak lelaki.
“Aku memang tidak suci lagi...!!! Tapi aku bukan perempuan murahan...!!! Aku melakukan perbuatan hina ini karena aku percaya janji- janjimu...!!!” Teriak Sekar yang tiba- tiba berdiri memecah keheningan sidang dan sejurus kemudian berlari meninggalkan Balai Desa.
Balai Desa tempat berlangsungnya sidang pun menjadi kacau- balau. Sebagian warga ada yang menolong Suwito dan istrinya yang pingsan dan sebagian lagi ada yang berlari mengejar Sekar. Melihat keadaan yang tidak memungkinkan tersebut, maka pak Lurah menunda sidang desa serta mengamanatkan agar mas Parno harus tinggal di rumah pak Kaur Kesra dengan pengawalan Hansip sampai sidang kembali bisa dilanjutkan.
***
Derita batin yang dialami Suwito sungguh teramat berat. Anak yang merupakan pewaris sekaligus generasi untuk meneruskan perjuangan dan cita- cita seperti yang diharapkannya, kini malah menjadi penghambat sekaligus penghancur harapannya. Pembelajaran moral yang selama ini ditanamkan pada diri Sekar sepertinya hanya masuk telinga kanan dan terus keluar dari telinga kiri. Buktinya Sekar tidak mampu menghadapi kenyataan di lingkungan dimana dia berada.
Hukuman psikologi dari sosial masyarakat yang diterima Suwito, semakin membuatnya terpuruk. Tatapan mata warga kampung seperti menyiratkan rasa jijik pada diri dan keluarganya, meski banyak pula yang memandangnya dengan tatapan penuh rasa iba, ketika Suwito berjalan menuju Balai Desa untuk menghadiri sidang desa tahap II.
“Apakah kamu tahu resiko sumpah palsu ?” Tanya pak Lurah pada mas Parno membuka sidang desa jilid II.
“Saya memang telah berbuat yang tidak sepantasnya pada Sekar, tetapi apakah hanya diri saya saja ?” Jawab mas Parno yang sama persis dengan jawaban pada sidang pertama.
Pak Lurah akhirnya meminta jawaban dari Sekar yang juga disumpah terlebih dahulu. Sekar pun menjawab persis seperti pada sidang pertama, bahwa hanya satu dan memang satu- satunya lelaki yang telah merenggut kesuciannya adalah mas Parno seorang.
“Sampai kiamat pun, sidang ini tidak akan pernah selesai ! Karena tidak ada saksi yang melihat pada saat kejadian !” Kata pak Lurah dengan lantang. “Untuk itu,  atas nama hukum dan demokratisasi maka putusan sidang ini akan saya serahkan pada keputusan warga kampung ini ! Setuju..??!” Lanjut pak Lurah mencoba tetap demokratis.
“Karena tidak ada jalan lain, bagaimana kalau keduanya disumpah pocong ?! Setuju saudara- saudara..?!!” Kata seorang warga yang maju di depan persidangan mengajukan saran.
“Baiklah, apakah semua warga kampung ini setuju sumpah pocong ?!” Kata pak Lurah menegaskan usulan tersebut pada warga kampung yang menghadiri sidang tersebut.
Setelah mendapat persetujuan dari seluruh warga kampung untuk sumpah pocong, maka pak Lurah menegaskan pada mas Parno dan Sekar untuk melakukan sumpah pocong.
“Bagaimana mas Parno ? sudah siap untuk sumpah pocong sekarang juga ?” Tanya pak Lurah.
“Maaf pak Lurah, saya sudah jujur bahwa saya yang melakukan perbuatan tersebut dan sekarang saya mau mempertanggung jawabkan perbuatanku pada Sekar.” Jawab mas Parno.
Walaupun akhirnya mas Parno bersedia mempertanggung jawabkan perbuatannya, aib tetaplah aib dan tidak bisa dihapus meskipun melalui sebuah ikatan pernikahan. Aib pada keluarga Suwito, khususnya Sekar dan keturunannya akan menjadi sebuah cerita yang terus berkembang secara turun- temurun disetiap generasi warga kampung.
Belum lagi setelah anak yang sekarang masih dalam perut Sekar  kelak lahir ke dunia, pasti akan mengalami beban mental yang begitu berat. Teman- teman sepermainannya dengan polos akan mengatakan sebagai anak haram, karena teman- temannya terwarisi oleh cerita yang turun- temurun tersebut. Inilah yang terus dipikirkan oleh Suwito dan istrinya, sehingga wajah mereka berdua lebih cepat tua dari pada umurnya.


Bab. 6.
 Poor Fool
( Miskin Lagi Bodoh )


Di rumah Suwito kini hanya tinggal tiga orang penghuni. Yaitu Suwito beserta istrinya dan Wulandari adik Sekar. Anak pertamanya yang bernama Istikomah langsung tinggal bersama suaminya begitu habis akad nikah. Istikomah pun tidak bisa berbuat banyak untuk sekedar membantu beban materi orang tuanya. Selain ia sudah mempunyai tanggung jawab utama untuk taat pada suaminya, kehidupan ekonomi rumah tangganya juga seperti keadaan setiap warga kampung yang terkungkung oleh kemiskinan. Selain sebagai pengambil nira, ia juga sering dimintai bantuan untuk mencukur rambut warga kampung. Upahnya cukup secangkir kopi dan beberapa batang rokok tembakau yang dibungkus kulit jagung. Warga kampung menyebutnya rokok klobot.
Sekarpun setelah dinikahi mas Parno segera diboyong ke Jakarta. Selain harus melayani suaminya, setidaknya dengan pergi ke Jakarta akan menjauhkan Sekar dari tekanan psikologis dari warga kampung akan kejadian yang telah menimpanya.
Cita- cita Sekar untuk membantu keluarganya keluar dari balutan kemiskinan hanya tinggal mimpi. Nyatanya beban hidup Suwito di hari tuanya tampak semakin berat. Meski dalam balutan derita fisiknya, Suwito masih terus berusaha untuk tetap mengais rezeki sebagai wujud tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Meski tidak sebanyak dulu, Suwito tetap memaksakan diri untuk terus memanjat setiap batang pohon kelapa demi mengumpulkan tetesan- tetesan nira.
Selepas musim panen padi, Jamilah tetap membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh tanam. Upah yang didapatkan pun tidak seberapa, apalagi musim tanam di wilayah kampung tersebut hanya bisa 1 kali karena hanya mengandalkan sistem pertanian tadah hujan.
Keadaan inilah yang membuat Wulandari atau yang biasa dipanggil Wulan terus merengek meminta supaya di sekolahkan minimal hingga tingkat SMP. Wulan selalu mengingatkan ayahnya dengan ungkapan dari Alvin Toffler dari buku Future Shock yang dipinjami oleh temannya yang sudah di SMP, yang mengatakan bahwa: “Yang tidak berpendidikan di abad ke- 21 bukanlah mereka yang tidak dapat menulis dan membaca, melainkan mereka yang tidak dapat belajar, melupakan pembelajaran, dan belajar lagi.”
Suatu kenyataan yang sangat luar biasa, ternyata Suwito begitu memahami alasan Wulan untuk melanjutkan sekolah hingga tingkat SMP. Tentunya Suwito ingin belajar dari pengalaman pahit yang terjadi pada diri Sekar tidak terulang pada diri Wulan. Akhirnya, Suwito berjanji akan menyekolahkan Wulan hingga tingkat SMP meskipun ia harus membanting tulang setiap hari untuk membayar ongkos naik angkutan desa menuju sekolahnya.
“Baiklah Wulan, bapak berjanji akan menyekolahkan kamu hingga tingkat SMP. Karena hanya sampai ditingkat itulah kemampuan bapak.” Janji Suwito pada anak terakhirnya tersebut.
“Wulan mengerti, dan Wulan tidak akan menuntut lebih dari itu...” Kata Wulan haru.
“Belajarlah yang rajin ! dan jangan lupa bahwa belajar bukan hanya dari buku saja...” Nasehat Suwito sambil menarik nafas dalam- dalam. “Yang terpenting, kamu harus belajar dari kejadian yang menimpa kakamu.” Lanjut Suwito sambil meninggalkan Wulan sendirian.
Sambil memandang langit, bibir Wulan terkatup rapat sedangkan hati dan pikirannya meresapi kata- kata bapaknya yang sejurus telah berlalu.
***
Setiap hari usai pulang sekolah, Wulan selalu merengek pada orang tuanya meskipun hal ini sebetulnya tidak ingin dilakukannya. Di satu sisi, Wulan tidak ingin menambah beban derita orang tuanya. Tetapi di sisi lain, Wulan tidak tahan kalau akhir- akhir ini terus dipanggil wali kelasnya karena sudah 6 bulan belum membayar uang SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi).
“Sabarlah anakku, semua memang Jer Basuki Mawa Bea. Tetapi saat ini bapakmu belum punya uang.” Kata Suwito. “Bilang saja mulai bulan depan mau diangsur. Jangan patah semangat anakku ! Teruslah masuk sekolah ! Besok bapak akan bekerja lebih keras.” Lanjut Suwito memberi semangat sekaligus nasehat.
“Se...sebetulnya Wulan tidak sampai hati untuk mengutarakan hal ini pada bapak, tte...tetapi bapak wali kelas  menyuruh Wulan untuk menyampaikan hal ini pada bapak.” Kata Wulan terbata- bata berurai air mata.
“Jangan menjadikan keadaan kita ini sebagai hambatan ! tetapi jadikanlah sebagai lecutan semangat !” Kata Suwito padat dan tegas.
“Maafkan Wulan pak...” Katanya seraya memeluk erat tubuh bapaknya.
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, kamu tidak salah anakku.” Jawab Suwito sambil membelai rambut anak terakhirnya tersebut.
Biaya paling berat bagi Suwito yang harus dicari setiap hari adalah biaya untuk membayar ongkos angkutan desa yang harus dibayarkan Wulan setiap berangkat ke sekolah. Keinginan kuat Suwito untuk menyekolahkan Wulan hingga tamat SMP, supaya anaknya tersebut tidak bernasib sengsara seperti dirinya ataupun bernasib sial seperti Sekar kakaknya. Apapun dilakukan oleh Suwito untuk mewujudkan cita- cita tersebut. Meskipun harus hutang sana tutup sini, ataupun meminta upah kerja terlebih dahulu meskipun pekerjaannya belum selesai.
Selain 1/3 harinya dihabiskan untuk rutinitas di bangku sekolah, layaknya anak desa maka Wulan harus membantu pekerjaan orang tuanya mencari rumput untuk memberi makan 3 ekor kambing milik tetangganya yang dipelihara Suwito dengan sistem bagi hasil. Wulan juga harus mencari kayu bakar untuk memasak dan merebus air nira hingga menjadi gula merah. Aktivitas yang berat bagi anak seusia Wulan inilah yang menjadikan banyak nilai mata pelajaran di sekolahnya hanya pas- pasan. Hampir tidak ada waktu untuk belajar karena fisiknya butuh banyak istirahat setelah melakukan aktivitas yang berat.
***
“Assalamu’alaikum !” Terdengar suara pintu diketuk dan suara seseorang yang mengucapkan salam dari balik pintu depan rumah Suwito.
“Wulan ! Tolong buka pintunya. Lihat siapa yang pagi- pagi buta begini mengetuk pintu, siapa tahu ada hal penting yang ingin disampaikan.” Perintah Suwito pada Wulan.
Wulan pun bergegas menuju pintu depan dan membukanya. “Wa alaikum salam...” Ucap Wulan menjawab salam. Setelah sejenak tertegun dengan siapa yang datang, Wulan pun kemudian mempersilakan mereka untuk segera masuk. “Oh...mbak Sekar, mas Parno dan yang cantik ini namanya siapa ya ?” Ucap Wulan sambil mencubit pipi bayi yang digendong Sekar.
“Pak ! bu ! Ini Sekar yang datang !” Ucap Wulan pada bapak dan ibunya.
Setelah mendengar teriakan Wulan, Suwito dan istrinya segera berlari menemui Sekar, mas Parno yang juga menantunya dan cucunya di ruang depan. Setelah saling berpelukan dan menanyakan kabar masing- masing, mas Parno dan Sekar dipersilakan untuk istirahat sekedar melepas lelah setelah menempuh perjalanan dari Jakarta.
“Silakan istirahat dulu. Ngobrolnya nanti saja.” Kata Suwito pada mas Parno.
“Maaf pak, saya mau langsung ke rumah saja. Soalnya nanti sore saya harus balik ke Jakarta. Mumpung masih pagi, sehingga bapak dan ibu belum berangkat ke sawah.” Jawab mas Parno yang meminta ijin untuk kembali kerumah orang tuanya sendiri.
“Lho kok terburu- buru ?” Tanya Suwito.
“Iya Pak, soalnya cuma diberi cuti dua hari.” Jawab mas Parno yang kemudian berpamitan menuju ke rumah orang tuanya.
Setelah menidurkan bayinya di atas balai bambu, Sekarpun kemudian duduk bersama kedua orang tuanya dan Wulan adiknya di ruang tamu rumah mereka yang sempit.
“Kapan anakmu lahir ? Siapa namanya ?” Tanya Jamilah sesaat setelah Sekar duduk di kursi kayu atau yang sering disebut ‘Lincak’.
“Lima belas hari yang lalu bu, dan Sekar beri nama Ita Perwitasari.” Jawab Sekar. “Maaf bu, Sekar tidak membawa oleh- oleh dari Jakarta.” Lanjutnya.
“Yang terpenting semua sehat.” Ucap Jamilah.
“Pak.., bu.., maafkan Sekar ya ? Mulai saat ini Sekar bermaksud mau tinggal bersama bapak dan ibu...” Setelah menghela nafas dalam- dalam, kemudian Sekar melanjutkan perkataannya: “Setelah Sekar melahirkan, Sekar tidak bisa lagi bekerja membantu keuangan keluarga dan gaji mas Parno tidak cukup untuk membeli kebutuhan rumah tangga sehari- hari.” Ucap Sekar lirih.
Mendengar perkataan Sekar, Jamilah hanya bisa memandang Suaminya, menunggu reaksi yang akan keluar dari bibirnya. Wulan buru- buru masuk ke dalam rumah karena dirinya sudah tidak tahan lagi mendengar  kata- kata kesedihan.
Setelah menarik nafas dalam- dalam, Suwito akhirnya berkata: “Tempat terbaik untuk kembali bagi seorang anak adalah orang tuanya. Pepatah Jawa juga mengatakan bahwa Anak Polah Bapak Kepradah.” Setelah diam sejenak, Suwito berkata: “Engkau tahu apa yang bapak maksud Sekar ?”
“Sekar tahu pak.” Jawab Sekar yang berlinang air mata mendengar kata- kata bapaknya.
Karena tidak kuasa lagi menahan tangis, Sekar akhirnya berlari ke dalam kamar dimana bayinya sedang tidur. Diangkat dan dipeluk bayinya erat- erat. Air matanya deras mengalir. Sekar begitu sedih karena ia tidak mampu memberikan kebahagiaan bagi kedua orang tuanya. Ia selalu membuat susah dan sedih kedua orang tuanya. Setelah memberi aib bagi keluarganya, kini ia menambahnya dengan beban baru, yaitu beban ekonomi.
“Sudahlah anakku...Jangan bersedih terus. Bukankah bapak dan ibumu ini selalu menerimamu ?” Hibur Jamilah yang mengikuti Sekar ke dalam kamar.
“Maafkan Sekar bu, Sekar adalah anak yang durhaka ! Anak yang selalu menyusahkan orang tua !” Ucap Sekar sambil bersimpuh di telapak kaki ibunya.
***
Genap tiga tahun sudah Wulan telah menghabiskan waktu belajarnya di tingkat SMP. Sesuai kesepakatan dengan kemiskinan, maka Wulan tidak bisa melanjutkan ke tingkat satuan pendidikan yang lebih tinggi yaitu SMA. Wulan bisa saja bangga, karena di kampung tersebut masih jarang yang bisa bersekolah sampai SMP. Sebagian besar warga kampung hanya mampu sekolah sampai tingkat SD saja, dan banyak pula yang SD nya tidak tamat. Namun setelah Wulan melihat keluar dari kampung tersebut, baru terasa bahwa pendidikan tingkat SMP sulit  bersaing untuk mendapatkan pekerjaan. Untuk menjadi pelayan toko di kota kecil yang berjarak 25 km dari rumah Wulan saja dibutuhkan minimal lulusan SMA. Ternyata kampung Wulan ibarat kampung masa pra- sejarah yang nyata keberadaannya ditengah derasnya globalisasi ini, sehingga hanya dengan berbekal selembar ijazah SMP, Wulan tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya hingga saat ini, Wulan tetap berada di kampung halamannya dengan pekerjaan yang tidak mengalami perubahan sedikitpun. Yaitu mencari kayu bakar, merumput dan ikut buruh tanam ketika musim hujan tiba.
Raut  muram selalu menghiasi gurat- gurat wajah tua Suwito. Wulan yang telah di sekolahkan dengan terengah- engah hingga SMP ternyata belum membuahkan harapan anaknya tersebut. Untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi pun, apa daya uang tiada. Inilah yang membuat Suwito berkesedihan dari hari ke hari. Melihat keadaan bapaknya yang selalu berdiam diri dalam keadaan muram durja, Wulan pun sering tercenung. Ia merasa bersalah telah memaksa bapaknya untuk menyekolahkan hingga SMP. Ia merasa bersalah karena setelah keinginannya bersekolah hingga SMP terlaksana, tetap saja keadaan keluarganya tidak berubah. Ia merasa bersalah karena tidak bisa membahagiakan kedua orang tuanya, tetapi malah membuat orang tuanya semakin sedih.
“Maafkan Wulan pak, karena Wulan lah bapak menjadi sedih begini.” Ucap Wulan pada bapaknya yang sedang berbaring di ranjang bambunya.
Di atas ranjang bambunya, Suwito hanya terdiam, menghela nafas panjang dan kedua matanya menatap deretan genteng langit- langit rumahnya lekat- lekat. Wulan pun meneruskan ucapannya.
“Kemarin Wulan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, tetapi Wulan tidak bisa mendapatkan pekerjaan di kota ka...kare...karena...” Wulanpun tidak dapat meneruskan alasannya karena tidak sampai hati jika kata- katanya membuat bapaknya semakin sedih.
“Bapak sudah tahu alasannya, karena bapak sudah lama hidup di kampung ini.” Kata Suwito yang tiba- tiba membuka suaranya.
“Seharusnya bapaklah yang minta maaf anakku...” Ucap Suwito lemah dan terbatuk- batuk. “Maafkan bapakmu ini anakku, karena bapak tidak bisa membiayaimu lagi sampai ke SMA.” Lanjut Suwito setelah batuknya mereda.
“Wulan tidak meminta seperti itu pak.” Jawab Wulan.
Setelah beberapa saat suasana hening, terdengarlah tarikan nafas berat Wulan yang akhirnya ia berkata: “Maafkan Wulan pak, bolehkah Wulan bertanya satu hal saja ?” Pinta Wulan kepada ayahnya.
“Boleh...” Jawab bapaknya yang juga terlebih dahulu menarik nafas dalam- dalam.
“Apakah bapak menyesal telah menyekolahkan Wulan hingga SMP namun pada akhirnya keadaan kita tidak berubah sedikitpun ?” Tanya Wulan sambil menyembunyikan air matanya yang menetes.
”Apakah sekolah hanya untuk mencari pekerjaan ?” Jawab bapaknya balik bertanya.
“Kenyataannya memang begitu.” Jawab Wulan pendek.
“Meskipun sudah terlambat, akhirnya bapak sadar bahwa dengan bersekolah kita bisa menyelesaikan masalah yang sedang kita hadapi dengan baik.” Kata Suwito.
“Banyak juga yang pendidikannya tinggi tapi malah sering membuat masalah bagi orang lain.” Ungkap Wulan yang masih belum menerima akan kenyataan yang ada di masyarakat.
“Itulah orang yang niatnya salah, sehingga mereka tidak menerapkan pelajaran karakter dan moral serta etika yang diberikan di bangku sekolah.” Terang Suwito kepada anak gadisnya tersebut.
***
Meski kedua orang tuanya tidak menuntut Wulan untuk bekerja menggunakan ijazah yang telah susah payah didapatkannya, tetapi Wulan merasa hidupnya tidak tenang sebelum ia dapat membahagiakan kedua orang tuanya. Wulan sering meneteskan air matanya ketika dia teringat dan melihat dengan mata kepalanya sendiri perjuangan yang dilakukan ke dua orang tuanya demi menyekolahkan dirinya.
Titik akhir dari pergulatan batin Wulan adalah dengan keputusannya untuk pergi merantau ke Jakarta. Meskipun di sana hanya bekerja juga sebagai pembantu rumah tangga, seperti yang pernah dilakukan oleh Sekar kakaknya.
Setelah mengumpulkan keberaniannya, akhirnya Wulan mengutarakan niatnya untuk merantau kepada orang tuanya.
“Bapak dan ibu, bolehkah Wulan meminta sesuatu ?” Tanya Wulan membuka percakapan pada kedua orang tuanya.
“Boleh saja !” Jawab Suwito dan istrinya hampir bersamaan. “Asalkan demi kebaikan dan kedua orang tuamu ini sanggup mengupayakannya.” Tambah Suwito.
“Wulan ingin merantau ke Jakarta !” Pinta wulan pendek.
Sesaat kemudian orang tuanya terdiam dan menunjukkan rasa keterkejutan. Suwito dan istrinya sesaat saling pandang dan kemudian keduanya membuang mata jauh- jauh. Sepertinya mereka teringat akan kejadian yang menimpa anak gadisnya yang bernama Sekar, yang tidak lain adalah kakak Wulan.
“Apakah tidak ada pilihan lain ?” Tanya bapak Wulan yang tiba- tiba memecah kesunyian.
“Meskipun sama- sama seorang pembantu, upahnya lebih tinggi di ibu kota pak.” Jawab Wulan polos.
“Kalau kedua orang tuamu ini tidak mengijinkan, apa yang akan engkau lakukan anakku ?” Tanya Suwito lagi.
“Entahlah Wulan harus berbuat apa. Yang jelas Wulan tidak tega kalau diusia bapak yang sudah tua ini terus bekerja membanting tulang sepanjang hari.” Jawab Wulan sembari tertunduk. “Selain menghidupi Wulan, kini bapak dan ibu juga harus menghidupi mbak Sekar dan anaknya. Apakah baik jika Wulan terus berpangku tangan begini ?” Lanjutnya.
Sejenak suasana menjadi hening. Semua disibukkan dengan pemikirannya masing- masing. Akhirnya Suwito memecahkan keheningan tersebut dengan berkata pada Wulan: “Ingatkah dengan kejadian yang menimpa Sekar kakakmu ?”
“Ingat bapak.” Jawab Wulan lirih.
“Engkau harus belajar dari kejadian yang telah menimpa kakakmu...” Suwito pun menarik nafas dalam- dalam sebelum ia melanjutkan perkataannya: “Engkau berbeda dengan Sekar. Jika engkau tidak bisa belajar dari kejadian yang menimpa kakakmu, sungguh menyesal bapak telah bersusah payah menyekolahkanmu hingga SMP.”
Suasana pun kembali menjadi hening, hingga Suwito kembali bertanya pada Wulan meminta ketegasannya.
“Bagaimana anakku ?”
“Wulan akan selalu ingat semua nasehat bapak.” Jawab Wulan sambil terus tertunduk.
“Kapan engkau akan berangkat ke Jakarta ?” Tanya Jamilah ibunya.
“Lebaran kan tiga bulan lagi. Jadi ketika mas Mardi pulang, Wulan akan mengutarakan niat Wulan untuk pergi ke Jakarta dan siapa tahu mas Mardi bisa membantu mencarikan pekerjaan di sana.” Jelas Wulan.
“Baiklah. Tapi pikirkan lagi apakah engkau sudah mantap dengan pilihanmu untuk pergi ke Jakarta itu.” Kata ibunya mengingatkan.
Setelah pembicaraan tersebut selesai, Wulan meminta diri untuk beristirahat karena hari sudah larut malam. Kini di ranjang bambu hanya tinggal Suwito bersama Jamilah istrinya.
“Mengapa bapak sampai hati mengatakan akan menyesal telah menyekolahkan Wulan hingga SMP jika tidak bisa belajar dari kejadian yang menimpa kakanya ?” Tanya istrinya setelah beberapa saat mereka berdua saling terdiam. “Apakah pernyataan seperti itu malah tidak akan membebaninya ?” Lanjut istrinya ketika melihat suaminya hanya terus dalam diam.
“Sesungguhnya bapak juga tidak ingin berkata seperti itu, tapi bapak juga tidak ingin kejadian pada diri Sekar menimpa pada Wulan.” Jawab Suwito yang akhirnya membuka suara.
“Mengapa bapak mengijinkan Wulan pergi ke Jakarta ?” Tanya istrinya.
“Mengapa ibu juga tidak melarangnya ?” Balas Suwito.
Suasana kembali menjadi sepi, baik Suwito maupun istrinya tidak ada yang mengeluarkan alasannya masing- masing.
“Terus terang saja, aku sudah tua dan aku sepertinya tidak sanggup lagi kalau terus bekerja. Saatnya memanfaatkan sebaik mungkin sisa waktuku ini untuk menyambut malaikat kematian.” Kata Jamilah memecah kesunyian.
“Engkau sendiri tahu keadaanku ini, mungkin malaikat maut telah mengelilingiku. Tapi aku ingin memberikan kesempatan pada Wulan untuk belajar pada kenyataan.” Ungkap Suwito.
“Bapak percaya sepenuhnya pada Wulan anak kita ?” Tanya Jamilah memastikan.
“Semoga Wulan bisa menjaga kepercayaan yang kita berikan.” Jawab Suwito mencoba bijaksana. “Hari sudah sangat larut, sebaiknya kita beristirahat. Besok pagi kita harus bekerja.” Lanjut Suwito mengakhiri pembicaraan.
***
Sudah menjadi tradisi bangsa ini, bahwa setiap Lebaran tiba maka para perantau akan mudik atau kembali ke kampung halamannya masing- masing. Begitu pula dengan mas Mardi yang juga tidak pernah absen menjalankan tradisi mudik tersebut.
Mas Mardi adalah orang yang begitu terkenal di kampung halamannya, mas Mardi inilah yang suka menolong tetangganya yang masih muda- muda yang ingin dibawa ke Jakarta untuk bekerja. Mas Mardi pula yang menempatkan mereka bekerja di Jakarta. Maklum majikan mas Mardi mempunyai banyak bisnis. Mulai dari produsen batu marmer, kontraktor, toko bangunan, rumah sakit hingga restoran. Usaha majikan mas Mardi tidak hanya di Jakarta saja, tetapi memiliki cabang di luar jawa seperti kota makassar, Banjarmasin, Bengkulu, Bali hingga Lombok.
“Bagaimana mas, apakah Wulan bisa ikut ke Jakarta ?” Tanya Wulan pada mas Mardi selepas shalat magrib di mushola dekat rumahnya.
“Bisa saja. Tapi yang paling penting adalah ijin orang tua.” Jawab mas Mardi memastikan.
“Wulan sudah ijin kok. Sekalian  nanti mas Mardi mampir dulu ke rumah Wulan.” Kata Wulan
“Besok sajalah kalau sudah mau berangkat ke Jakarta.” Jawab mas Mardi. “Oh ya, tapi lowongan di Jakarta saat ini hanya sebagai pembantu rumah tangga. Bagaimana ? mau nggak ?” Lanjutnya memberi informasi.
“Sebagai apa saja Wulan mau. Yang penting halal.” Jawab Wulan.
“Kamu akan menggantikan posisi Sekar di rumah nyonya.” Jelas mas Mardi. “Kamu kenal dengan Nur Hamidah desa sebelah kan ?” Lanjut mas Mardi bertanya pada Wulan.
“Wulan kenal. Memangnya ada apa ?” Wulan balik bertanya.
“Sudah dua tahun ini dia juga bekerja di rumah nyonya menggantikan mbok Ijah.” Jelas mas Mardi.
“Hmhmm..Wulan kira ada apa.” Tukas Wulan pendek.
Akhirnya lewat tangan mas Mardi pula, Wulan pergi ke Jakarta untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Tugas Wulan pun sama persisi dengan tugas Sekar kakaknya. Entah suatu kebetulan atau tidak, tetapi itulah kejadian yang sesungguhnya.
“Maaf pak Lek, ini Wulan mau ikut saya bekerja di Jakarta. Apa memang betul begitu ?” Tanya mas Mardi pada bapaknya Wulan.
“Keinginan Wulan memang begitu. Memangnya ada lowongan pekerjaan untuk Wulan yang hanya tamat SMP itu ?” Jawab Suwito yang juga sekaligus bertanya.
“Kalau Wulan mau, kebetulan nyonya sedang membutuhkan seorang pembantu.” Jawab mas Mardi.
“Berarti tempat dan pekerjaannya sama persis dengan Sekar dulu ?” Tanya Suwito lagi.
“Jika mau, Wulan bisa menjadi pelayan toko bangunan yang di Makassar. Bagaimana ?” lanjut mas Mardi memberi informasi.
“Waah...Makassar kan jauh, lebih baik yang dekat- dekat saja. Wulan nggak mau ahh..” Protes Wulan.
“Pak Lek Cuma berpesan sekaligus minta tolong untuk selalu mengingatkan dan menjaga Wulan jika bersikap kurang sopan atau melanggar adab.” Pinta Suwito pada mas Mardi.
“Akan saya usahakan pak Lek.” Jawab mas Mardi. “Oh ya, saya pamit dulu pak Lek. Jangan lupa besok pagi berangkatnya.” Lanjut mas Mardi berpamitan.
Keesokan harinya, mas Mardi berpamitan pada Suwito untuk berangkat ke Jakarta sekaligus membawa Wulan.
“Pak Lek titipkan Wulan pada mas Mardi selama di Jakarta !” Pesan Suwito dengan tegas.
“Iya pak Lek.” Jawab mas Mardi.
“Ingat nasehat bapak anakku ! engkau harus belajar dari kenyataan yang menimpa kakakmu !” Ucap Suwito pada Wulan.
“Wulan akan selalu ingat pak. Wulan mohon pamit dan doakan agar selalu sehat wal afiat.” Jawab Wulan berpamitan.


Bab. 7.
  Second Rose Faded
( Layu Sebelum Berkembang II )

Secara fisik, Wulan tidak ubahnya Sekar. Cantik, tinggi semampai, putih bersih dan lemah lembut serta dibalut oleh sifat yang lugu dan polos. Yang membedakan adalah latar belakang pendidikannya. Sekar tamat SD, maka Wulan tamat SMP. Tujuan kepergiannya ke Jakarta pun sama, yaitu ingin merubah nasib hidupnya secara finansial dengan mencari rezeki di Jakarta.
“Sekar ? kapan datang ?” Sapa nyonya ketika melihat Wulan sedang duduk di ruang keluarga bersama mas Mardi.
“Maaf nyonya, saya Wulan bukan Sekar.” Jawab Wulan sambil mengulurkan tangannya pada nyonya.
“Benarkah ini bukan Sekar Mardi ?” Tanya nyonya pada mas mardi minta penjelasan.
“Betul nyonya ! Ini Wulan adiknya Sekar. Wajahnya memang mirip. Ibarat pepatah, bagai pinang yang dibelah bapak dan ibunya ” Jelas mas Mardi yang memang senang bercanda.
“Bolehkah saya ikut bekerja di sini nyonya ?” Tanya Wulan.
“Kebetulan sekali ! Di rumah ini memang membutuhkan seseorang yang pinter memasak seperti Sekar.” Jawab Nyonya.
“Terima kasih nyonya. Tapi Wulan tidak sepintar Sekar dalam memasak.” Kata Wulan berbasa- basi.
“Ah...kamu bisa saja ! Sekar dulu juga berkata seperti itu.” Ucap nyonya. “Mardi, tolong beritahukan pada Wulan apa- apa yang harus dikerjakannya. Tapi mulai besok saja, sekarang biarkan untuk istirahat.” Kata nyonya pada mas Mardi.
Setelah mendapat penjelasan dari mas Mardi, ternyata Wulan harus memulai aktivitasnya semenjak pagi. Mulai belanja kebutuhan dapur ke pasar sesuai menu yang telah ditentukan nyonya, hingga memasaknya. Setelah selesai melakukan tugasnya, Wulan lebih senang berada di dalam rumah sambil nonton televisi atau berbincang- bincang dengan sesama pembantu di rumah tersebut. Kebetulan Nur Hamidah adalah tetangga desanya.
Wulan sedikit membatasi diri dalam bergaul dengan lingkungannya, karena ia tidak ingin bernasib sama seperti kakaknya. Kalau tidak ada perintah dari nyonya, maka Wulan tidak keluar rumah. Ini tidak Wulan lakukan seperti para pembantu lainnya yang hanya sekedar berkunjung ke rumah tetangga atau plesiran ke mall setelah tanggung jawab pekerjaannya selesai.
“Wulan mau ikut jalan nggak ? nanti layu di dalam rumah lho !” Ledek Siti si baby sitter.
“Waaahh...mbak Siti bisa saja. Kapan- kapan saja deh !” Jawab Wulan.
“Nanti mbak tunjukkan tempat favoritnya Sekar lho !” Bujuk Siti.
“Terima kasih mbak, tapi kapan- kapan saja.” Jawab Wulan teguh pada pendiriannya.
Setelah tiga bulan berada di jakarta, sebetulnya Wulan ingin juga berjalan- jalan menikmati ramainya setiap sudut Jakarta. Tapi ia selalu teringat dengan segala nasehat bapaknya. Satu nasehat yang selalu terngiang adalah bahwa ia harus belajar dari kejadian yang telah menimpa Sekar kakaknya. Inilah salah satu wujud proses belajar Wulan.
“Lho kamu tidak ikut jalan- jalan ?” Tanya mas Mardi yang tiba- tiba muncul di ruang keluarga.
“Wulan lebih suka di rumah mas.” Jawab Wulan. “Lho mengapa mas Mardi masih sore begini sudah pulang ? Biasanya kan jam 9 malam ?” Lanjut Wulan heran.
“Saya baru dari bandara. Tuan Boss ke Australia selama sebulan ke depan.” Jelas mas Mardi.
“Lho kok nyonya tidak ikut ? beliau malah baru saja pergi arisan di Pecenongan.” Ucap Wulan.
“Lama- lama kamu juga akan tahu bagaimana sifat tuan dan nyonyamu.” Jawab mas Mardi pendek.
“Kalau boleh tahu, kok tuan di Australia hingga sebulan ? Apa setiap orang berduit tidak pernah di rumah seperti beliau ?” Tanya Wulan keheranan.
“Anaknya tuan yang kuliah di Melbourne sudah selesai, terus rencana mau buka bisnis batu marmer dan batuan alam lainnya di sana. Lha tuan yang mengurus semuanya itu. Paham ?” Ledek mas Mardi.
“Paham boss !” Balas Wulan. “Kalau tuan pergi ke Australia, terus mas Mardi sekarang kerjanya apa ?” Lanjut Wulan bertanya.
“Ya... STM !” Jawab mas Mardi.
“Mas Mardi mau sekolah lagi ?! Sudah tua begini ?!” Tanya Wulan penuh keheranan.
“Dasar kampungan ! STM itu Santai- santai Tidur dan Makan- makan. Enak kan ?” Kata mas Mardi sambil terkekeh.
“Pengangguran yang dibayar dong !” Seru Wulan.
“Bukankah roda kehidupan terus berputar ? Dengan majikan yang dulu saya sangat tersiksa. Hingga saya mengundurkan diri tanpa permisi.” Terang mas Mardi. “Sudah ah...saya mau makan dulu terus tidur. Hari ini menu yang dimasak apa ?” Lanjut mas Mardi bertanya pada Wulan.
“Ikan Bawal bakar bumbu pedas !” Jawab Wulan.
Dengan keberadaan mas Mardi yang lagi menikmati masa- masa STM (Santai- santai Tidur dan makan- makan), seringkali ia mengajak Wulan untuk berkeliling kota Jakarta. Untuk kali ini Wulan mau diajak jalan- jalan, karena ia hanya mempercayai mas Mardi yang sudah dianggap sebagai kakaknya sendiri.
“Kok kamu tidak ikut jalan- jalan dengan Siti dan geng-nya ?” Tanya mas Mardi yang selalu melihat Wulan berada didalam rumah.
“Wulan lebih senang di rumah mas.” Jawab Wulan.
“Kalau begitu, ayo saya ajak keliling kota Jakarta. Sudah tinggal di Jakarta kok tidak tahu Jakarta ! Bagaimana nanti kalau ditanya orang ?” Bujuk mas Mardi.
“Enggak ah !” Jawab Wulan.
“Mumpung saya lagi tidak kerja lho. Besok setelah tuan pulang, saya tidak ada waktu luang lagi. Apa kamu tidak percaya sama saya ?” Tanya mas mardi.
“Hhmmm...baiklah. Kalau begitu Wulan ganti baju dulu !” Jawab Wulan yang akhirnya menyerah.
Sore itu, Wulan tidak hanya diajak jalan- jalan saja melainkan juga dibelikan beberapa potong baju ketika mereka mampir di Atrium Senen.
“Terima kasih mas...Jadi ngrepotin nih !” Ucap Wulan setelah dibelikan beberapa potong baju.
“Saya kesini memang mau membelikan baju untuk Ifa dan Arif, jadi sekalian membelikan kamu yang telah rela mengantar saya.” Jawab mas Mardi.
“Bukan mengantar mas ! tapi dipaksa ikut !” Protes Wulan. “Eh...kok membelikan Ifa sama Arif, apa mas Mardi mau pulang kampung ?” Lanjut Wulan bertanya.
“Iya ! Rencana besok lusa.” Jawab mas Mardi. “Emang ada apa ?” Lanjutnya.
“Sekalian Wulan nitip salam dan uang buat bapak. Tapi uangnya hanya sedikit, kan baru tiga bulan Wulan kerja.” Ucap Wulan polos.
“Baik !” Jawab mas Mardi.
***
“Wulan !” Panggil nyonya dari kamarnya.
“Iya nyonya ! Ini Wulan datang !” Jawab Wulan yang segera lari tergopoh- gopoh menuju kamar nyonya. “Maaf nyonya, ada yang perlu Wulan kerjakan ?” Lanjut Wulan setelah sampai dihadapan nyonya.
“Tolong pijitin saya ya. Dulu ketika Sekar disini, dia yang mijitin saya. Pembantu yang lain nggak pas mijitnya.” Pinta nyonya.
“Maaf nyonya, tt...tapi Wulan tidak bisa mijit.” Jawab Wulan gugup.
“Kamu ini persis Sekar. Selain wajahnya, gerak- geriknya juga kata- katanya. Selalu bilang begitu.” Terang nyonya.
Suasana menjadi hening ketika nyonya sedang merasakan nikmatnya pijitan Wulan. Sesekali nyonya mengaduh pelan ketika tangan Wulan menyentuh titik- titik reflektif di telapak kaki nyonya.
“Kamu ini persis Sekar ! Rupanya darah pijat bapakmu menurun juga ke kamu. Mengapa tidak buka panti pijat saja Wulan ?” Ucap nyonya memecah keheningan.
“Di kampung Wulan pijat- memijat tidak laku nyonya. Kebanyakan kalau di kampung, tukang pijatnya laki- laki. Mana akan para buruh akan terasa kalau dipijat seorang wanita. Tubuh mereka keras- keras nyonya.” Jawab Wulan panjang lebar.
“Bagaimana kalau buka panti pijat disini ? Nanti saya carikan tempat yang strategis. Pasti pelanggannya banyak.” Tawar nyonya.
“Maaf nyonya, Wulan buta soal bisnis. Menjadi pembantu di rumah nyonya, bagi Wulan sudah sangat bersyukur.” Jawab Wulan.
“Apa yang ditakutkan Wulan masalah modal ? Itu jangan dikhawatirkan ! Semuanya urusan saya. Pokoknya Wulan tinggal mijit aja. Gimana ?” Tawar nyonya sekali lagi.
“Sekali lagi maafkan Wulan nyonya, Wulan belum memikirkan ke arah itu.” Jawab Wulan bingung.
“Ah...kamu ini, diajak maju kok nggak mau.” Ucap nyonya sambil menyodorkan tangannya untuk dipijat. “Eh... ngomong- ngomong, Sekar sekarang dimana ?” Lanjut nyonya.
“Sekar tinggal di kampung, nyonya. Bersama kedua orang tua Wulan.” Jawab Wulan pendek.
“Sepertinya sudah cukup Wulan.” Ucap nyonya pada Wulan untuk mengakhiri pijitannya. “Oh ya, ini ada hadiah untukmu !” Lanjut nyonya sambil menyodorkan selembar uang ratusan ribu.
***
“Whuaaaa... !!!”
“Whuaaaa !!!” Teriak Wulan terkejut ketika mas Mardi mengejutkannya dari belakang. “Oh ! mas Mardi, kapan pulang ? Bikin kaget saja !”
“Tadi pagi.” Jawab mas Mardi pendek. “Oh ya, ini kue Lompong. Oleh- oleh untuk nyonya.” Lanjutnya.
“Tuan kan masih seminggu lagi di Australia. Mengapa mas Mardi buru- buru kembali ke Jakarta ?” Tanya Wulan setelah menerima kue Lompong.
“Saya sudah tidak tahan sih...” Jawab mas Mardi.
“Apa maksudnya tidak tahan ?” Tanya Wulan heran.
“Rasa kangen ini.” Jawab mas Mardi.
“Pada pekerjaan ?” Tanya Wulan yang semakin tidak mengerti apa maksud mas Mardi.
“Pada gadis yang sedang saya ajak bicara dong, masak sama yang lain.” Goda mas Mardi.
Wulan hanya menggerutu pendek, kemudian meninggalkan mas Mardi sendirian. Mas Mardi hanya tersenyum simpul mendengar gerutu Wulan, sesaat setelah bahu Wulan tidak kelihatan dari pandangannya, ia pun beranjak ke kamarnya untuk beristirahat.
“Wulan bawa apa tuh ?” Tanya mbak Nur ketika melihat Wulan menjinjing tas plastik hitam.
“Kue oleh- oleh khas daerah kita.” Jawab Wulan.
“Kue lompong ? Siapa yang membawa ?” Tanya mbak Nur.
“Mas Mardi baru datang dari kampung. Mungkin ini pesanan nyonya, karena mas Mardi bilang bahwa kue ini untuk nyonya.” Jawab Wulan.
“Waah...mas Mardi kok tidak bilang- bilang kalau mau pulang kampung ! Saya mau nitip sedikit uang untuk orang tua je !” Ucap mbak Nur pada Wulan.
“Saya kira mas Mardi pamit juga sama mbak Nur. Lha sama saya saja pamitan kok.” Terang Wulan. “Oh ! itu nyonya ! Kebetulan sekali nyonya sudah pulang.” Teriak Wulan ketika melihat nyonya berjalan ke arah mereka.
“Maaf nyonya, ini ada kue Lompong dari mas Mardi. Spesial untuk nyonya.” Ucap Wulan sambil memberikan kue Lompong yang sudah diletakkannya dalam piring.
“Kebetulan sekali kalau begitu. Ibu pikir belum datang, HP nya saja susah dihubungi. Sekarang suruh ke Soekarno- Hatta untuk menjemput Papa sama Dion.” Perintah nyonya pada Wulan sambil menerima piring yang berisi kue Lompong.
Mendapat perintah nyonya, Wulan segera bergegas menuju kamar mas Mardi dan memberitahukan agar segera ke bandara untuk menjemput tuan dan tuan muda.
***
“Silakan tuan, tuan muda dan nyonya !” Ucap Wulan setelah meletakkan dua piring roti Ragout goreng dan tiga cangkir Espresso pada majikannya.
“Kok Dion baru lihat yang ini ? Ini siapa Ma ?” Tanya Dion pada nyonya. “Hmhmm...Kau cantik sekali. Namamu siapa ?” Lanjut Dion yang segera ingin tahu dan tanpa menunggu jawaban dari mamanya.
“Nama saya Wulan, Tuan muda.” Jawab Wulan pendek.
“Waah...jangan panggil Tuan muda dong. Panggil saja mas, biar lebih mesra.” Protes Dion.
“Iya tuan. Eh.., mas” Ralat Wulan.
“Oh ya, besok Wulan bisa menemani saya ke Banjarmasin kan ?” Tanya Dion pada Wulan.
Mendapat pertanyaan dari Dion, Wulan hanya diam saja. Wulan bingung harus bagaimana menjawabnya. Ia pun hanya memandang ke arah nyonya seakan minta sebuah kepastian jawaban.
“Apakah kamu ingin pergi dengan Wulan seperti apa adanya ?” Akhirnya nyonya membuka suaranya dengan bertanya pada Dion.
“Menurut mama bagaimana ?” Dion balik bertanya.
“Dengan sedikit perawatan akan lebih baik.” Jawab nyonya. “Yitno...!” Panggil nyonya pada sopirnya.
Yang dipanggilpun segera datang. “Ada apa nyonya ?” Tanya Yitno setelah sampai dihadapan nyonya.
“Antarkan Wulan ke Salon langganan saya !” Jawab nyonya. “Oh ya, nanti bilang sama kapster Susi untuk minta menu Full Body Treatment bagi Wulan.” Lanjut nyonya.
“Baik nyonya.” Jawab Yitno yang langsung menarik tangan Wulan untuk segera dibawa ke Salon.
Wulan sendiri tidak tahu apa yang dimaksudkan nyonya pada dirinya. Mengapa ia harus dibawa ke salon. Wulan juga belum tahu apa itu menu full body treatment. Kalimat tersebut juga baru saja ia dengar.
“Mengapa saya harus dibawa ke Salon mas ?” Tanya Wulan pada mas Yitno ketika dalam perjalanan ke Salon.
“Lho, seharusnya malah saya yang harus bertanya pada kamu. Mengapa seorang pembantu didandanin ke salon, pakai full body treatment lagi.” Jawab mas Yitno yang juga tidak kalah heran. “Lha tadi yang dibicarakan kamu beserta nyonya dan tuan muda apa ?” Lanjut mas Yitno balik bertanya.
“Tadi tuan muda mengajak saya ke Banjarmasin, terus aku sendiri juga tidak tahu mengapa akhirnya nyonya mengirimku ke salon.” Jawab Wulan.
“Ooo...berarti kamu besok akan betul- betul diajak ke Banjarmasin. Biar tambah cantik, maka kamu disuruh ke salon.” Kata mas Yitno. “Waah...jangan- jangan sebentar lagi kamu jadi nyonya muda.” Lanjut mas Yitno.
“Hush ! sampeyan ini ada- ada saja !” Ucap Wulan.
“Jangan lupa layanan full body treatment lho. Ini nyonya muda”. Ucap mas Yitno kepada Susi sang kapster.
***
“Sudah mau berangkat, nyonya muda ?” Tanya mbak Nur ketika melihat Wulan sudah dandan rapi.
“Duuhh...jangan gitu dong. Saya kan nggak enak.” Protes Wulan. “Saya Cuma disuruh nemani mas Dion saja, mungkin selama di sana tugas saya juga memasak.” Lanjutnya.
“Tuuhh... kan apa kataku. Kamu memanggil tuan muda dengan panggilan mas Dion.” Ucap mbak Nur.
“Itu atas permintaan tuan muda sendiri.” Jelas Wulan.
“Wulan !” Panggil nyonya dari ruang depan.
“Maaf ya mbak Nur, itu Wulan sudah dipanggil nyonya.” Kata Wulan pada mbak Nur.
“Hati- hati di jalan nyonya muda !” Canda mbak Nur.
“Dion berangkat dulu ya Ma...” Pamit Dion pada nyonya sesaat setelah Wulan berada disampingnya.
“Hati- hati di sana, jangan lupa perhatikan Wulan.” Pesan nyonya.
“Wulan berangkat mengantar mas Dion nyonya.” Ucap Wulan berpamitan.
“Iya. Hati- hati ya...” Jawab nyonya.
Setelah berpamitan, mereka berdua kemudian menuju bandara diantar oleh Yitno. Beberapa saat kemudian merekapun terbang menuju Banjarmasin.
“Maafkan Wulan mas, tadi di dalam pesawat merepotkan mas Dion.” Ucap Wulan ketika sedang memasuki hotel di Banjarmasin untuk beristirahat. “Wulan belum pernah naik pesawat, jadi mabuk.” Lanjut Wulan.
“Ah...nggak apa- apa. Yang penting sekarang kita istirahat dulu, baru setelah itu kita ke urusan bisnis.” Jawab mas Dion. “Oh ya, ini mas Dion pesankan minuman biar badan Wulan hangat. Minumlah...” Lanjutnya.
Wulan pun menerima segelas air yang disodorkan oleh tuan mudanya dan meminumnya. “Maaf mas, ini minuman apa ? kok tenggorokan sekar seperti terbakar setelah meminumnya ?” Tanya Wulan.
“Namanya Red Wine. Sekarang beristirahatlah, besok kita harus melakukan pertemuan bisnis dengan klien.” Jelas mas Dion.
Sebetulnya ada banyak pertanyaan yang ingin diajukannya pada mas Dion, tetapi ia tidak mempunyai keberanian. Karena sesaat setelah menjawab pertanyaan apa yang baru saja diminumnya, mas Dion menyuruhnya untuk beristirahat dan kemudian meninggalkan kamar Wulan.
“Sudah bangun ?” Tanya mas Dion sambil mengetuk pintu kamar Wulan.
“Sudah mas, silakan masuk !” Jawab Wulan
“Hoo..hoo...cantik sekali ! cocok jadi sekretaris pribadi !” Kata mas Dion melihat penampilan Wulan. “Bolehkah mas Dion memberikan sesuatu ?” lanjutnya.
“Wulan bingung bagaimana menjawabnya” Jawab Wulan terus terang.
“Wulan harus pakai ini.” Kata mas Dion sambil menarik tangan Wulan dan kemudian memakaikan sebuah jam tangan mahal di tangan Wulan. “Sekarang Wulan kelihatan seperti seorang profesional.” Lanjut mas Dion memberikan penilaiannya.
“Terima kasih mas. Tapi seharusnya saya tidak merepotkan mas Dion, karena saya tidak layak. saya kan hanya seorang pembantu.” Ucap Wulan.
“Saat ini Wulan bukan sebagai pembantu, tapi sebagai teman perjalanan mas Dion.” Jelas mas Dion. “Sudah ah, jangan bicara terus. Kita sudah ditunggu klien di kantornya. Ayo kita berangkat !” Lanjut mas Dion sambil menarik tangan Wulan untuk segera berangkat.
***
“Selesai sudah urusan kita di Kalimantan. Semua barang akan dikirim langsung ke Melbourne oleh klien kita.” Ucap mas Dion pada Wulan dengan lega. “Oh ya, Wulan masih mau disini atau langsung kembali ke Jakarta ?” Lanjut mas Dion memberi penawaran.
“Memangnya Wulan mau diajak ke mana lagi ?” Wulan balik bertanya.
“Kalau masih mau tinggal disini, Wulan saya ajak ke Kalimantan Timur. Tepatnya di daerah Tanah Grogot. Mau ?” Tawar mas Dion.
“Lebih baik kita kembali ke Jakarta saja. Wulan tidak enak dengan nyonya.” Jawab Wulan.
“Baiklah. Besok pagi kita kembali ke Jakarta.” Kata mas Dion. “Nanti malam  kita pergi ke kelab dulu.” Lanjutnya.
“Apa itu Kelab ? Apa untuk urusan bisnis lagi ?” Tanya Wulan.
“Ya !” Jawab mas Dion pendek. “Sekarang kita kembali ke hotel dulu.” Lanjutnya.
Keduanya segera kembali menuju ke hotel tempat mereka menginap. Setelah sampai didepan kamar Wulan, mas Dion menganjurkan pada Wulan untuk tidur karena nanti malam Wulan akan diajak pergi kelabing.
“Tok...tok...tok...Apa Wulan sudah siap ?” Tanya mas Dion sambil mengetuk pintu kamar Wulan.
“Silakan masuk !” Jawab Wulan ketika mendengar suara mas Dion.
“Waahh...he...he...he...” Mas Dion tertawa ketika melihat Wulan.
“Mengapa mas Dion tertawa ? Apa yang salah dari Wulan ?” Tanya Wulan penuh keheranan.
“Tidak ada yang salah. Tapi kita mau pergi kelabing, sebaiknya Wulan tidak memakai baju sekretaris seperti itu.” Ucap mas Dion yang masih tersenyum- senyum.
“Terus Wulan harus pakai yang seperti apa ?” Tanya Wulan sambil menyodorkan koper bajunya.
“Hhmmm....kalau begitu kita pergi beli baju dulu. Ayo segera berangkat, keburu jam 10 !” Kata mas Dion.
Segera mas Dion dan Wulan pergi menuju ke sebuah Departemen Store untuk membeli baju. Setelah mendapat sebuah baju seperti yang diinginkan, mereka berdua kemudian meluncur ke sebuah kelab malam yang ada di pusat kota.
“Tempat apa ini mas ? Kok ramai dan bising sekali ?!” Tanya Wulan sedikit berteriak karena begitu bisingnya tempat tersebut.
“Ini namanya Diskotik.” Jawab mas Dion sambil mendekatkan mulutnya pada telinga Wulan. “Ayo kita ambil minum dulu !” Lanjut mas Dion.
“Kok minuman ini rasanya lebih panas di tenggorokan, dari pada minuman yang pernah Wulan minum ketika pertama tiba di hotel ?” Tanya Wulan setelah meminum air dalam gelas yang diberikan oleh mas Dion. “Wulan tidak mau minum lagi !” Lanjut Wulan.
“Baiklah !” Kata mas Dion. “Mau dansa tidak ?” Tawar mas Dion.
“Apa itu dansa ?” Wulan balik bertanya.
“Ya seperti orang- orang itu lho !” Jawab mas Dion sambil menunjuk orang- orang yang sedang berdansa.
“Oh...menari berpasangan ?” Ucap Wulan. “Tidak ah...Wulan tidak bisa menari !” Lanjut Wulan.
“Kalau begitu, kita duduk di pinggir kolam air panas saja !” Ajak mas Dion.
“Tidak mau ah ! Lebih baik kita pulang saja !” Ucap Wulan. “Entah mengapa tiba- tiba kepala Wulan juga menjadi pusing !” Lanjutnya.
“Kita kan baru datang. Mengapa pulang ?” Tanya mas Dion.
“Disini suasananya aneh dan orang- orangnya pun aneh- aneh !” Jawab Wulan.
“Di Jakarta juga banyak tempat seperti ini !” Terang Mas Dion. “Apa Wulan tidak tahu ?” Lanjut mas Dion bertanya pada Wulan.
“Wulan kan tidak pernah keluar rumah. Habis memasak ya nonton TV.” Jelas Wulan.
“Betul nih Wulan mau kembali ke hotel saja ?” Tanya mas Dion memastikan.
“Betul mas ! Wulan tidak nyaman di tempat seperti ini.” Jawab Wulan.
“Baiklah ! Ayo kita kembali ke hotel.” Ucap mas Dion sambil menarik tangan Wulan.
Akhirnya mereka meninggalkan tempat tersebut dan kembali menuju hotel tempat mereka menginap.
“Mengapa kepala Wulan jadi tambah pusing ?” Tanya Wulan pada mas Dion ketika sampai di lobi hotel.
“Mungkin itu pengaruh dari Tequilla yang tadi Wulan minum.” Jawab mas Dion. “Nanti sesampainya di kamar, Wulan langsung istirahat saja.” Lanjut mas Dion sambil menuntun Wulan menuju kamarnya. “Kita sudah sampai di kamar Wulan. Silakan istirahat. Besok pagi kita kembali ke Jakarta.” Kata mas Dion.
“Terima kasih mas. Selamat malam dan selamat beristirahat.” Jawab Wulan yang kemudian menutup pintu kamarnya.
***
Pada sore harinya, Wulan dan mas Dion sudah tiba kembali di rumah. Wulan pun langsung mengerjakan aktivitasnya sebagai pembantu, sedangkan mas Dion masih beristirahat di kamarnya.
“Waah...nyonya muda sudah pulang ! Apa nih oleh- olehnya ?” Ucap mbak Nur ketika melihat Wulan sedang menggoreng pisang di dapur.
“Oleh- olehnya pusing ! mbak Nur mau ?” Balas Wulan. “Oh ya, jangan panggil saya tuan muda lagi. Terdengar oleh nyonya sampeyan bisa dipecat !” Lanjut Wulan.
“Ah...begitu saja marah !” Ucap mbak Nur. “Terus apa yang kamu lakukan selama di sana ?” Lanjut mbak Nur bertanya.
“Saya sendiri tidak melakukan apa- apa. Hanya menemani mas Dion bertemu dengan rekan bisnisnya.” Jawab Wulan.
“Hanya itu ? Kamu tidak diajak jalan- jalan keliling kota ?” Tanya mbak Nur penuh selidik.
“Saya memang tidak mau berlama- lama di sana, tapi pada malam hari sebelum kembali ke Jakarta, saya diajak ke Diskotik.” Jelas Wulan.
“Apa ?! Ke Diskotik ?” Ucap mbak Nur seperti tidak percaya.
“Sudah dulu ya mbak, Wulan mau mengantarkan pisang goreng ini untuk nyonya. Sudah ditunggu !” Pamit Wulan sambil meninggalkan mbak Nur sendirian di dapur.
Cerita Wulan yang diajak mas Dion ke diskotik akhirnya sampai juga ke telinga mas Mardi. Tentu saja cerita tersebut dibawa oleh mbak Nur, karena hanya mbak Nur seorang yang bertanya tentang kegiatan apa yang telah Wulan lakukan selama di Banjarmasin.
“Waah...sudah jadi anak gaul nih.” Ledek mas Mardi pada Wulan di ruang Televisi.
“Maksud mas Mardi apa sih ? Kok Wulan tidak tahu ?” Ucap Wulan ketika mendengar perkataan mas Mardi.
“Hati- hati lho ! Nanti bisa ketagihan kelabing dan akhirnya mengecewakan orang tuamu.” Jawab mas Mardi memperjelas maksud dari perkataannya.
“Ooo...ini pasti karena mbak Nur ya ? Oh ya, Wulan tidak lama berada di diskotik dan Wulan juga tidak melakukan apa- apa !” Jelas Wulan.
Mas Mardi yang sebetulnya ingin berbicara banyak pada Wulan, akhirnya mengurungkan niatnya ketika melihat Tuan muda berjalan menuju tempat mereka. Mas Mardi pun meninggalkan sendirian.
“Aku tinggal dulu Ya ! Itu tuan muda datang.” Kata mas Mardi pada Wulan sambil melangkah pergi.
“Hai Wulan ! Bagaimana dengan pusingnya ? Sudah sembuh ?” Tanya mas Dion yang kemudian duduk di kursi yang berhadapan Wulan.
“Sudah sembuh mas.” Jawab Wulan. “Oh ya, mas Dion mau minum apa ? biar Wulan ambilkan.” Lanjut Wulan menawarkan.
“Air putih saja.” Jawab mas Dion pendek.
Wulan segera pergi mengambilkan air putih untuk mas Dion dari Dispenser yang tidak jauh dari ruang televisi tersebut.
“Besok pagi saya sudah harus berangkat ke Australia. Wulan mau ikut ?” Tanya mas Dion setelah meminum segelas air yang diambilkan Wulan.
“Nggak mau ah ! Australi kan jauh banget.” Jawab Wulan.
“Oh ya, Wulan sudah punya pacar belum ?” Tanya mas Dion mengalihkan topik pembicaraan.
“Wulan belum berpikir tentang pacar apalagi pendamping hidup mas. Yang penting sekarang adalah bagaimana caranya untuk membantu orang tua Wulan.” Jawab Wulan.
“Atau mungkin Wulan sudah dijodohkan ? Masak cantik begini belum ada yang suka ?” Lanjut mas Dion bertanya.
“Wulan tidak dijodohkan kok mas. Wulan saja yang memang belum berpikir ke arah situ.” Jelas Wulan lagi.
“Oh ya, maaf ya...Wulan saya tinggal dulu. Mas Dion mau menelpon klien yang di Banjarmasin. Apakah batuannya sudah dikirim atau belum.” Ucap mas Dion yang segera beranjak menuju taman dalam.
***
“Wulan...!” Panggil nyonya dari ruang depan.
“Ini Wulan nyonya. Apa yang harus Wulan kerjakan ?” Tanya Wulan ketika sudah sampai dihadapan majikannya.
“Tolong Wulan ikut membawa koper- koper ini ke Bandara !” Terang nyonya.
“Kok banyak sekali kopernya nyonya ? Apa nyonya dan tuan juga ikut serta ke Australia ?” Tanya Wulan lagi ketika melihat banyak koper yang harus dimasukkan ke bagasi mobil.
“Iya ! Soalnya Dion ingin Grand Opening tokonya dihadiri mama dan papanya.” Jawab nyonya.
Setelah semua koper masuk ke bagasi mobil, merekapun segera berangkat menuju bandara dengan dua mobil yang dikemudikan mas Mardi dan mas Yitno.
“Waah....bakal liburan lagi kita !” Kata mas Mardi pada Wulan ketika dalam perjalanan pulang dari bandara.
“Tepatnya mas Mardi bukan kita !” Protes Wulan. “Wulan kan harus terus memasak, mas Yitno dan mbak Siti mengantar sekolah anak- anak, dan mbak Nur tetap dengan tugas mencucinya.” Lanjutnya.
“Nanti malam ke diskotik ya ?” Ledek mas Mardi.
“Lebih baik dan enak tetap di rumah !” Jawab Wulan keras.
“Kalau yang mengajak tuan muda kok kamu mau ?” Balas mas Mardi. “Apa karena uangnya banyak ?” Lanjutnya.
“Enakan dipecat jadi babu atau terpaksa mau ?” Jawab Wulan balik bertanya.
“Enak mau !” Ledek mas Mardi.
“Sudahlah jangan dibahas ! Tambah panjang nanti !” Protes Wulan.
Sepeninggal majikannya ke Australia, sedikit banyak membuat para pembantu di rumah tersebut bekerja dengan santai. Setelah memasak, Wulan hanya tinggal sendirian di rumah. Mbak Nur sering ikut mbak Siti mengantar anak- anak ke sekolah. Mas Mardi juga lebih senang jalan- jalan ke luar rumah. Kadang- kadang bersama mas Yitno yang sesama sopir, tapi lebih sering bepergian sendiri.
“Mau ikut jalan- jalan tidak ?” Tanya mas Mardi pada Wulan.
“Tidak ah..!  Wulan nunggu rumah saja.” Jawab Wulan.
“Sebentar saja kok, tidak lama.” Bujuk mas Mardi.
“Wulan mau nonton TV saja mas.” Ucap Wulan.
“Hati- hati lho ! Di rumah ini banyak hantunya” Ucap mas Mardi menakut- nakuti Wulan.
Mas Mardi akhirnya pergi sendirian karena Wulan tidak mau diajak ikut. Tetapi kurang dari lima belas menit kemudian, mas Mardi sudah kembali lagi ke rumah.
“Lho...Tidak jadi pergi mas ? Kok sudah kembali lagi ?” Tanya Wulan heran ketika melihat mas Mardi sudah kembali lagi ke rumah.
“Tadi aku kan sudah bilang sama kamu hanya sebentar saja.” Jawab mas Mardi. “Oh ya, tolong ambilkan gelas dong ! Ini aku bawa minuman dan makanan kecil.” Lanjut mas Mardi.
Wulan segera pergi ke ruang makan untuk mengambil gelas dan piring untuk menuang minuman dan tempat makanan kecil yang baru dibeli oleh mas Mardi. Wulan pun kemudian meletakkan makanan kecil ke dalam piring dan mas Mardi menuang minuman ke dalam gelas.
“Nah...sekarang mari kita minum dan ini makanan kecilnya dicoba.” Kata mas Mardi setelah selesai menuang minuman ke dalam gelas.
“Huuff...! Kok minuman ini juga membuat tenggorokan Wulan seperti terbakar. Bahkan lebih panas dari yang pernah Wulan minum ketika dikasih mas Dion.” Ucap Wulan sehabis meminum air yang baru dituang mas Mardi.
“Aku kok tidak merasakan apa- apa. Nih kalau tidak percaya !” Kata mas Mardi yang kemudian meminum habis air yang ada di dalam gelas.
“Maaf mas, Wulan ke kamar dulu ya. Entah mengapa kepala Wulan menjadi begitu pusing.” Ucap Wulan yang langsung meninggalkan mas Mardi dan menuju kamarnya.
***
“Wulan...! Tolong bawa masuk koper- koper yang ada di bagasi mobil !” Perintah nyonya.
“Baik nyonya !” Jawab Wulan yang kemudian bergegas menuju halaman depan dimana mobil berada.
Ketika sedang membawa koper yang ke empat, tiba- tiba Wulan jatuh pingsan tepat di belakang mobil yang sedang dibongkar kopernya. Melihat Wulan terjatuh, mas Yitno segera berteriak: “Nyonya...! Wulan pingsan !”
Nyonya begitu kaget mendengar teriakan sopirnya. Ketika menoleh ke arah mas Yitno, nyonya melihat tubuh Wulan sudah tergeletak dibelakang mobil.
“Cepat masukkan ke dalam mobil ! Kita bawa ke rumah sakit !” Perintah nyonya pada mas Yitno setelah sampai dimana Wulan pingsan.
Yang diperintah segera mengangkat tubuh Wulan dan memasukkannya dalam mobil serta langsung tancap gas ke rumah sakit.
“Kondisi puteri nyonya baik- baik saja. Dia hanya kelelahan dan sebaikknya kondisi fisiknya harus terus dijaga karena puteri ibu sedang hamil.” Saran Dokter ketika selesai memeriksa Wulan.
“Oh...Hamil ya. Berapa usia kandungannya ?” Tanya nyonya sambil menyembunyikan rasa herannya.
“Memasuki minggu ke empat.” Jelas dokter.
“Terima kasih dok.” Ucap nyonya.
Setelah menerima saran dari dokter, nyonya segera membawa Wulan pulang. selam dalam perjalanan, tidak ada seorangpun yang berkata- kata. Pikiran nyonya sibuk dengan ribuan pertanyaan yang juga dijawabnya sendiri. Nyonya juga berpikir bahwa jangan- jangan kehamilan Wulan karena ulah Dion anaknya.
“Sudah sampai nyonya...” Kata mas Yitno memberi tahu majikannya.
“Oh..ya.” Jawab nyonya yang langsung tersadar dari gejolak pemikirannya.
Nyonya kemudian melangkah ke dalam rumah dengan cepat tanpa memperhatikan bahwa masih ada Wulan di dalam mobil.
“Waah...sebulan di Australi membuat nyonya berubah !” Ucap mas Yitno sambil menuntun Wulan masuk ke dalam rumah.
Di dalam kamar, akhirnya nyonya langsung menelpon puteranya yang berada di Australia.
“Apa yang Dion lakukan pada Wulan ketika di Banjarmasin ?” Tanya nyonya.
“Maksud mama apa sih ? Kok tiba- tiba berkata begitu pada Dion ?” Balas Dion balik bertanya karena bingung dengan sikap mamanya.
“Apa yang Dion lakukan pada Wulan ?!” Kali ini nyonya bertanya dengan penekanan.
“Baiklah. Dion mengajak Wulan ke Diskotik dan memberinya sebuah Tequilla. Tapi itu tidak lama. Kita di diskotik tidak sampai 30 menit.” Terang Dion.
“Apa yang kamu lakukan pada Wulan ?!” Tanya mamanya lagi.
“Apa maksud mama ?!” Kali ini suara Dion agak keras karena ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh mamanya.
“Mengapa sekarang Wulan Hamil ?!” Tanya nyonya sekaligus memperjelas permasalahan yang sedang mereka bicarakan.
“Haah...! Hamil ?!” Ucap Dion terkejut mendengar perkataan mamanya. “Benarkah Wulan hamil Ma ?” Lanjut Dion memastikan.
“Mama baru mengantar Wulan dari rumah sakit. Kalau Wulan tidak pingsan, maka mama tidak akan tahu kalau Wulan hamil.” Jawab nyonya panjang lebar. “Apakah kamu yang melakukannya ?” Lanjut nyonya menegaskan.
“Tidak Ma ! Dion tidak melakukan hal itu. Kalau mama tidak percaya, bisa dilakukan Tes DNA.” Jawab Dion memastikan pada mamanya bahwa dia tidak melakukan hal tersebut.
“Baiklah, mama mempercayai kamu.” Ucap nyonya yang kemudian mengakhiri pembicaraan dengan puteranya.
Setelah mendapatkan kepastian dari puteranya, nyonya pun keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar Wulan.  Ketika mengetuk pintu tidak ada jawaban dari dalam, akhirnya nyonya pergi ke dapur untuk membuat susu hangat.
“Oh, Wulan ada disini to...” Kata nyonya ketika melihat Wulan yang berada di dapur. “Bagaimana keadaanmu ?” lanjut nyonya menanyakan kesehatan Wulan.
“Sudah baik nyonya.” Jawab Wulan. “Nyonya mau dibuatkan apa ?” Lanjutnya.
“Biar ibu buat sendiri saja. Cuma susu panas kok.” Jawab nyonya. “Oh ya, bolehkah ibu bicara sesuatu ?” Lanjut nyonya.
“Silakan nyonya, Wulan siap mendengarkan.” Jawab Wulan.
“Apakah Wulan sudah tahu kalau sekarang ini Wulan telah hamil ?” Tanya nyonya.
“Apa ?! Wulan hamil ?! Me...meng...” Wulan pun tidak dapat melanjutkan kata- katanya. Wulan pingsan.
Melihat wulan terjatuh tidak sadarkan diri, nyonya segera menangkap tubuh wulan agar tidak terbentur di meja dapur. Setelah itu nyonya berteriak minta tolong.
“Ada apa nyonya ? Hah..Wulan kenapa lagi ini ?” Tanya mbak Nur yang langsung mengambil tubuh Wulan dari dekapan nyonya.
“Tolong langsung bawa ke kamarnya !” Perintah nyonya.
Begitu masuk dalam kamar, bawah lubang hidung Wulan diberi wewangian sedangkan sekujur tubuhnya diolesi dengan minyak kayu putih. Rupanya cara ini ampuh, nyatanya Wulan segera sadarkan diri.
“Beristirahatlah dulu, kalau membutuhkan sesuatu, Wulan bisa memanggil mbak Nur.” Kata nyonya sambil berdiri hendak beranjak pergi.
“Tidak nyonya..” Jawab Wulan lemah.
Nyonya yang mengerti apa yang dimaksudkan oleh Wulan, segera memerintahkan mbak Nur untuk meninggalkan mereka berdua di dalam kamar.
“Benarkah Wulan hamil ?” Tanya Wulan pada nyonya ketika majikannya tersebut duduk kembali di tepi ranjang.
“Benar. Dokter yang berkata seperti itu, dan hasil pemeriksaannya juga masih ibu simpan jika Wulan ingin melihatnya.” Jawab nyonya. “Maaf Wulan, kalau ibu boleh tahu, siapakah ayah dari anak yang ada di dalam rahimmu ini ?” Lanjut nyonya.
“Mas Mardi !” Jawab Wulan pendek.
“Mardi ?! Mengapa...ah...” Ucap nyonya merasa tidak habis pikir mengapa Wulan bisa berhubungan dengan Mardi. “Mengapa hal itu bisa terjadi ?!” Lanjut nyonya setelah beberapa saat pikirannya kembali tertata.
Wulan hanya menangis ketika secara tidak langsung nyonya meminta penjelasan bagaimana hal nista tersebut bisa terjadi. Melihat Wulan menangis, nyonya merasa tidak tega dengan keadaan batin Wulan apabila harus menceritakan kejadian yang menimpanya saat ini.
“Maafkan ibu Wulan, jika Wulan belum siap untuk menceritakan kejadian tersebut tidaklah mengapa. Lain waktu saja.” Ucap nyonya. “Satu hal yang harus Wulan pahami adalah bahwa ibu harus tahu proses kejadiannya, karena ibu yang bertanggung jawab di rumah ini.” Lanjut nyonya.
“Baiklah nyonya, Wulan akan bercerita sekarang.” Kata Wulan pada nyonya.
Setelah menarik nafas dalam- dalam serta berusaha untuk menguasai perasaan hatinya, Wulanpun kemudian menceritakan kejadian yang membuatnya sekarang menjadi hamil.
“Satu hari setelah nyonya dan keluarga berangkat ke Australia, mas Mardi membeli makanan ringan dan beberapa botol minuman. Setelah Wulan minum air tersebut, tiba- tiba kepala Wulan menjadi sangat pusing.” Cerita Wulan. Setelah berhenti sebentar untuk menarik nafas dalam- dalam, Wulan melanjutkan ceritanya. “Tidak lama kemudian, Wulan pamit pada mas Mardi untuk masuk ke kamar, karena kepala Wulan semakin pusing.”
“Terus si Mardi memaksa Wulan ?” Tanya nyonya dengan geram.
“Wulan sendiri tidak tahu lagi apa yang terjadi. Begitu Wulan masuk kamar, Wulan langsung tidak sadarkan diri.” Jawab Wulan.
“Tadi Wulan bilang bahwa ayah dari bayi dalam perutmu adalah si Mardi. Bagaimana Wulan tahu ?!” Tanya nyonya heran.
“Iya nyonya.” Jawab Wulan yang kemudian melanjutkan ceritanya. “Pada saat Wulan tersadar, Wulan begitu terkejut melihat mas Mardi tertidur disamping Wulan tanpa mengenakan selembar benangpun.”
Wulan tidak melanjutkan ceritanya, karena tangisnya kemudian pecah. Melihat Wulan dalam keadaan sedih, nyonya kemudian membelai rambut Wulan layaknya anaknya sendiri. Setelah perasaannya tenang, Wulan melanjutkan ceritanya.
“Selain mendapati mas Mardi tertidur disamping Wulan, bagian kewanitaan Wulan juga terasa begitu sakit. Darah juga membasahi seprei.”
“Apa yang Wulan lakukan ketika mendapati keadaan Wulan seperti itu ?” Tanya nyonya.
“Wulan membangunkan mas Mardi dan bertanya apa yang telah ia perbuat pada diri Wulan.” Jawab Wulan.
“Apa jawabnya ?” Tanya nyonya.
“Pada awalnya mas Mardi tidak mengakui perbuatannya, tetapi setelah Wulan tunjukkan bukti- bukti yang ada pada tubuh Wulan, akhirnya mas Mardi mengakui perbuatannya.” Jelas Wulan. “Tte...ttetap...tetapi...” Wulan tidak bisa melanjutkan ceritanya. Air matanya deras mengalir mengenang kejadian tersebut.
“Tetapi kenapa ?” Tanya nyonya setelah menenangkan perasaan Wulan.
“Tetapi mas Mardi mengancam Wulan jika Wulan berani melaporkan kejadian tersebut pada orang lain.” Kata Wulan sambil terus menghapus air matanya.
“Mengapa takut dengan ancaman si Mardi ?” Tanya nyonya heran.
“Mas Mardi mengatakan bahwa yang membawa Wulan ke Jakarta adalah dia. Jadi tidak sepantasnya jika Wulan mengadukan perbuatan ini kepada orang lain. Selain itu, jika sampai Wulan mengadu, maka mas Mardi akan membunuh Wulan.” Jelas Wulan pada nyonya.
“Hhmmm...minta balas jasa rupanya si Mardi !” Ucap nyonya dengan rasa benci. “Terus sekarang bagaimana ? Apa yang akan Wulan lakukan ?” lanjut nyonya bertanya pada Wulan.
“Maksud nyonya apa ? Apakah nyonya mengusir Wulan dari rumah ini ? Seperti Sekar dulu ?” Tanya Wulan yang kemudian diiringi dengan tangisan.
“Bukan begitu maksud ibu. Apakah Wulan tidak ingin lapor polisi ?” Jelas nyonya.
“Wulan tidak mau berurusan dengan polisi. Nanti masalahnya bisa tambah panjang. Wulan juga tidak mempunyai banyak uang untuk mengurus kasus ini.” Jawab Wulan.
“Kalau itu keputusan Wulan, maka Wulan bisa tinggal disini sampai melahirkan. Dan mulai besok pagi, si Mardi akan ibu pecat.” Jelas nyonya.
***
Di kampung halaman Wulan, orang- orang sudah ramai membicarakan tentang kehamilan Wulan. Berita tentang hamilnya Wulan ini dibawa oleh mbak Nur yang merupakan tetangga desa Wulan sendiri. Mbak Nur minta ijin pulang karena ayahnya sedang sakit dan dia lah anak satu- satunya yang harus merawat ayahnya tersebut.
Tentu saja kabar tersebut sangat mengejutkan seluruh warga kampung halaman Wulan. Ada yang merasa kasihan dengan Suwito dan keluarganya, mengapa aib ini menimpa keluarganya, ada pula yang mencibir keluarga Suwito.
Yang tidak kalah terkejutnya dari kabar tersebut adalah pak RT. Mbak Nur mengatakan bahwa yang menghamili Wulan tidak lain adalah mas Mardi. mendengar berita yang beredar di kampungnya bahwa yang menghamili Wulan adalah anaknya, pak RT menjadi marah. Pak RT mengancam mbak Nur akan dilaporkan ke Polisi jika kabar tersebut tidak benar. Pak RT merasa bahwa nama baiknya sudah dicemarkan.
“Benarkah Wulan hamil ? “ Tanya setiap orang yang bertemu pada mbak Nur Hamidah untuk memastikan kejadian tersebut.
“Sungguh si Mardi anaknya pak RT yang menghamilinya ?” Tanya warga yang lainnya.
“Semuanya benar !” Jawab mbak Nur meyakinkan warga.
Karena kabar tentang kehamilan Wulan dan mas Mardi semakin hari semakin ramai menjadi topik pembicaraan, maka pak RT memanggil mbak Nur ke rumahnya. Dari pembicaraan di rumah pak RT tersebut, mbak Nur tetap bersikukuh bahwa Wulan memang telah hamil dan yang menghamili adalah mas Mardi.
“Apa jaminannya bahwa berita yang kamu bawa bukan berita bohong ?” Tanya pak RT pada mbak Nur.
“Bukankah saya tadi sudah bersumpah atas nama Tuhan ? dan bukankah saya juga menjadi pembantu di rumah majikan saya bersama- sama mas Mardi dan Wulan ?” Jawab Mbak Nur.
“Jika sumpahmu adalah palsu, maka kamu akan saya laporkan pada pihak kepolosian !” Ucap pak RT.
“Kalau pak RT tidak percaya dengan berita ini, silakan pak RT lihat sendiri ke Jakarta !” Jawab Mbak Nur tidak kalah sengit.
Setelah peristiwa pemanggilan mbak Nur ke rumah pak RT, semakin yakin pula warga desa dengan kabar hamilnya Wulan yang diakibatkan oleh mas Mardi. selain pak RT, orang yang sangat terpukul dengan kabar tersebut adalah Suwito dan keluarganya serta Aminah yang merupakan istri mas Mardi. Suwito sendiri pingsan dengan jumlah yang tidak dapat dihitung lagi. Ia merasa tidak percaya dengan kejadian tersebut. Suwito tidak habis pikir mengapa ini bisa terjadi dan mengapa ini terjadi pada keluarganya, salah dan dosa apa yang dia punya hingga jalan hidup keluarganya seperti ini.
“Saya sudah tidak tahan lagi..! Saya sudah tidak tahan lagi..!” Teriak Suwito dalam sehari- harinya.
Hebatnya penderitaan yang dipikulnya, membuat Suwito depresi berat. Ia sering berteriak- teriak sendiri seperti orang gila dan tingkah lakunya juga membahayakan dirinya sendiri. Berulang kali ia berusaha untuk mengakhiri hidupnya, namun sampai saat ini masih bisa dicegah oleh keluarganya maupun oleh warga.
Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, kini Suwito tidak dapat lagi beranjak dari tempat tidurnya. Tangan dan kakinya diikat erat di pembaringannya.
Begitu pula yang terjadi dengan Aminah istri mas Mardi. Aminah yang mempunyai dua orang anak yang masih kecil- kecil, selalu menangis dan tidak pernah keluar dari rumahnya yang juga belum jadi benar. Ia meratapi nasibnya, mengapa mas Mardi suaminya begitu tega membagi cinta dengan orang lain, padahal usia perkawinan mereka belum genap empat tahun.
Belum jelasnya status masa depan dirinya nanti apabila berita tersebut benar- benar kenyataan adanya, membuat Aminah kembali ke rumah orang tuanya. Apakah mas Mardi akan menceraikan dirinya atau hanya akan memadunya adalah pertanyaan yang menghantui Aminah disela isak tangisnya. Aminah sangat kahawatir dengan nasib kedua anaknya yang masih kecil- kecil. Apabila ia diceraikan, siapa yang akan manghidupi anak- anaknya untuk mewujudkan cita- citanya. Jikalau untuk kawin lagi, sepertinya Aminah sudah kapok.
Pada akhirnya, untuk memastikan apakah kabar tentang Wulan dan mas Mardi benar adanya, Aminah memohon dengan sangat kepada orang tuanya agar ia diijinkan untuk pergi ke Jakarta. Tentu saja permintaan tersebut tidak disetujui oleh orang tua Aminah. Kondisi psikologis Aminah yang sedang labil bisa- bisa menambah kusutnya masalah. Sebagai jalan keluarnya, orang tua Aminah meminta pada besan-nya yaitu pak RT untuk mendampingi Aminah pergi ke Jakarta menemui suaminya.
Ternyata berita yang disebarkan oleh mbak Nur Hamidah bukan kabar burung, melainkan suatu kenyataan yang benar- benar terjadi.
“Mengapa mas tega berbuat seperti ini ? Apa salah dan kekurangan saya ? Mengapa mas juga tidak segera pulang ke kampung halaman ? Bukankah mas sudah tidak punya pekerjaan lagi disini ?” Ucap Aminah dengan berbagai pertanyaannya.
Mas Mardi hanya diam seribu bahasa ketika Aminah terus bertanya padanya. Melihat suaminya hanya diam saja, Aminah semakin merasa jengkel.
“Untuk menghidupi satu istri saja gaji mas tidak cukup ! Bagaimana dengan dua istri ?! Pokoknya saya tidak mau dimadu !” Teriak Aminah pada suaminya.
“Sabar Aminah.., jangan mendahulukan emosi. Semua masalah pasti ada solusinya.” Nasehat mertuanya pada Aminah.
“Ooo...sudah tahu anaknya berbuat salah malah dibela !” Protes Aminah pada pak RT yang sekaligus juga mertuanya tersebut.
Kenyataan yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri, tentu saja membuat Aminah semakin shock. Sekembalinya dari Jakarta, Aminah hanya menangis dan mengurung diri dalam kamar. Orang tua Aminah menjadi bingung sendiri dan tidak tahu apa yang harus dilakukan, ketika Aminah tidak mau lagi untuk menyusui anak keduanya yang masih berumur 8 bulan. Di satu sisi, orang tua Aminah merasa prihatin dengan kejadian yang menimpa putrinya tersebut. Di sisi lain, orang tuanya juga tidak tega dengan nasib cucunya yang telah dilupakan oleh ibunya sendiri.
“Engkau boleh sedih, tapi jangan larut dalam kesedihan hingga engkau melupakan darah dagingmu sendiri.” Nasehat ayah Aminah tiada henti.
Melihat yang dinasehati tidak menghiraukannya, ayah Aminah keluar dari kamar anaknya. Usahanya selalu sia- sia untguk mengembalikan kondisi mental anaknya. Begitu pula dengan nasehat yang diberikan ibunya, semua tiada hasilnya.
Sementara perbincangan warga kampung semakin riuh rendah saja menanggapi kasus Wulan dan mas Mardi. Ada yang mengatakan bahwa mengapa mas Mardi sampai hati melakukan tindakan tidak pantas pada Wulan yang merupakan tetangganya sendiri, dikarenakan mas Mardi hanya menjenguk istrinya di  kampung halaman satu kali dalam setahun.
“Kalau pulangnya hanya satu kali dalam setahun, ya...pantaslah si Mardi tidak tahan lagi...” Ucap pak Trisno di pos ronda yang disambut oleh gelak tawa orang- orang yang sedang ronda tersebut.
“Lagian lebih cantik istri mudanya dari pada si Aminah !” Sambung mas Cipto tak mau ketinggalan memberi komentar.
“Huss...dinikah saja belum, kok sudah bilang istri muda !” Kata pak Marno meralat.
“Lihat saja nanti, Aminah pasti dimadu.” Ucap mas Cipto lagi. “Kalau si Mardi tidak mau menikahi Wulan, biar aku saja yang bertanggung jawab !” Lanjut mas Cipto yang kemudian disambut dengan tawa semua orang yang ada di pos ronda.
“Niat hati mas Mardi mencari solusi mudah terhadap masalah pribadinya, malah menciptakan masalah baru.” Kata mas Udin. “Mahatma Gandhi pernah berkata bahwa apapun yang anda lakukan itu tidak ada artinya, tetapi sangatlah penting bahwa anda melakukannya. Bukankah begitu mas Cipto ?” Lanjut mas Udin.
“Waah...kamu ini terkena racun apa sih ? setiap berkomentar mengutip kata- kata orang luar negeri. Mbok pakai yang dari dalam negeri saja, seperti Ki Hajar Dewantoro, RA. Kartini atau Gus Dur juga boleh.” Kritik mas Cipto. “Hmhmm...betul juga katamu ! tapi lebih betul kalau dua istri cukup, gadis atau janda sama saja. Gitu aja kok repot !” Lanjut mas Cipto yang kembali disambut gelak tawa semua orang yang ada di pos ronda.
“Yang lebih kasihan adalah keluarga pak Suwito. Ia begitu depresi ketika mendapati kenyataan bahwa anak perempuannya selalu bernasib sama, hamil sebelum nikah.” Ucap mas Ikhsan setelah gelak tawa di pos ronda itu mereda.
“Ahh...mas Ikhsan seperti tidak tahu saja apa yang dikatakan oleh Fyodor Dostoyevsky.” Kata mas Udin menanggapi pernyataan mas Ikhsan.
“Waah...kumat lagi dengan produk luar negeri ini anak !” Ucap mas Cipto begitu mendengar mas Udin menyebut nama orang asing. “Tapi, apa yang dikatakan oleh Fyodor...Fyodor...itu ?” Lanjut mas Cipto ingin tahu juga.
“Dia berkata bahwa yang menggelikan itu benar- benar diperlukan di bumi, karena dunia ini berdiri di atas hal- hal yang menggelikan.” Jawab mas Udin.
“Maksudnya apa ?” Tanya mas Ikhsan.
“Bukankah kejadian yang menimpa anak- anak pak Suwito suatu hal yang sulit dipercaya ? Akan tetapi hal itu benar- benar terjadi bukan ?” Jelas mas Udin.
“Jangan- jangan istrinya pak Suwito juga hamil duluan.” Celetuk mas Cipto.
“Huss...jangan berprasangka buruk pada orang ! Dosa !” Kata mas Udin mengingatkan.
“Yang membuatku heran, mengapa Wulan tidak belajar dari kasus yang telah menimpa Sekar kakaknya ? Sehingga kejadian serupa menimpanya ?” Ucap mas Ikhsan penasaran dengan kejadian yang menimpa Wulan.
“Bisa saja Wulan diperkosa mas Mardi, bukan atas dasar suka sama suka.” Duga mas Cipto.
“Sudahlah, sebaiknya jangan menduga- duga. Tunggu saja ketika mas Mardi pulang, atau setidaknya kita menunggu bagaimana solusi atas kasus ini berakhir.” Ucap mas Udin.
Pembicaraan tentang kasus yang menimpa keluarga Suwito begitu menjadi perbincangan yang menarik bagi setiap orang penghuni kampung tersebut, kampung tetangga maupun orang yang lewat kampung dimana Suwito tinggal pasti akan mendapatkan kisah sedih tersebut. Sepertinya kejadian yang menimpa Sekar dan Wulan adalah kejadian yang sulit dipercaya namun betul- betul terjadi adanya.
***


Bab. 8.
 Coma (Koma)


Setiap hari yang terdengar didalam rumah Suwito adalah rintihan lirihnya yang hanya sayup- sayup terdengar dari bibirnya. Ketika diberi tahu bahwa Aminah dan pak RT telah kembali dari Jakarta dan mendapati bahwa kejadian yang menimpa Wulan adalah benar adanya, Suwito pun pingsan untuk yang kesekian kalinya. Keluarganya segera melepas tali yang mengikat tangan dan kaki Suwito ketika sudah hampir 8 jam pingsan dan belum sadarkan diri.
Dalam kebingungan tersebut, keluarganya hanya bisa mengucapkan kata- kata permohonan pada Tuhan yang Maha Kuasa, agar Suwito diberi ketabahan, kesabaran dan sikap tawakal dalam menerima kenyataan yang dialaminya.
Setelah sadar pun, kembali Suwito mendapati kabar bahwa Wulan tidak mau pulang ke kampung halamannya sebelum dia melahirkan bayi yang sedang dikandungnya.
“Wulan masih bekerja di rumah majikannya dan tidak mau saya ajak pulang.” Ucap pak RT pada Suwito. “Mardi anak saya juga tidak mau diajak pulang, meski istrinya telah memintanya dengan uarai air mata.” Lanjut pak RT.
Melihat Suwito diam tanpa ekspresi, pak RT terus melanjutkan perkataannya: “Sebagai orang tua Mardi, saya akan bertanggung jawab. Yaitu menikahkan Wulan dengan Mardi secara sah.” Setelah menenangkan diri sebentar pak RT melanjutkan: “Masalah Aminah tidak mau dimadu, itu juga tanggung jawab saya. Mardi boleh menolak ketika saya ajak pulang, tapi tidak untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.”
Meski telah ada pernyataan pertanggung jawaban dari pak RT, hal tersebut tidaklah membuat keadaan Suwito menjadi lebih baik. Aib yang telah ditorehkan oleh kedua putrinya membuat Suwito sepertinya tidak mempunyai hasrat untuk hidup lagi.
Bagaimana tidak, telah susah payah Suwito dan Jamilah istrinya mendampingi tumbuh kembang putri- putrinya, tetapi hasilnya tidak seperti yang ia harapkan. Dari ratapannya yang lirih, Suwito menyalahkan dirinya sendiri.
“Semua ini salahku...salahku...Mengapa aku terus miskin dan bodoh...” Gumam Suwito sambil membenturkan kepalanya di pinggir dipan bambunya.
Mungkin secara lengkap, Suwito akan mengatakan bahwa karena kebodohan dan kemiskinannya hingga membuat kedua putrinya mengalami kejadian nista tersebut. Andai ia kaya, tentunya Sekar dan Wulan tidak akan pergi urbanisasi ke Jakarta untuk mencari uang. Sekarang bukannya uang yang didapat, melainkan sebuah aib yang menyusahkan. Bahkan dua aib sekaligus secara berurutan.
***
Meskipun tidak bisa menghapus dan mengobati aib yang telah menimpa keluarga Suwito, ayah mas Mardi betul- betul menepati janjinya untuk menikahkan Wulan dengan mas Mardi secara sah. Hari itu, di rumah pak RT dilaksanakan pernikahan Wulan dengan mas Mardi.
Dihadapan penghulu, Wulan dan mas Mardi melakukan ijab qabul yang disaksikan oleh kerabat dan warga kampung. Satu- satunya orang yang tidak hadir adalah Aminah, istri mas Mardi. Meski tidak hadir, mas Mardi telah mengantongi ijin hitam di atas putih yang menerangkan bahwa Aminah rela dimadu. Warga kampung sendiri tidak mempermasalahkan bagaimana prosesnya mas mardi mendapatkan surat ijin tersebut.
“Betul apa kataku kan ? Aminah akhirnya dimadu.” Bisik mas Cipto pada mas Ikhsan ketika prosesi ijab qabul baru saja selesai.
“Demi menyelamatkan aib memang harus begitu.” Jawab mas Ikhsan. “Tapi saya yakin Wulan tidak akan bahagia menjadi istri kedua.” Lanjutnya.
“Maksudmu akan lebih bahagia jika menjadi istriku ?” Tanya mas Cipto membuka perdebatannya.
“Dasar bujang lapuk !” sungut mas Ikhsan. “Lebih baik engkau dekati Aminah ! Siapa tahu ia akan minta cerai sama si Mardi.” Lanjut mas Ikhsan.
“Apa hubungannya dengan minta cerai ?” Tanya mas Cipto.
“Maksudnya kalau Aminah dicerai, maka bisa dikawinin kamu !” Jelas mas Ikhsan.
“Haa...ha...ha...bisa juga idemu dicoba !” Ledek mas Cipto. “Hai...lihatlah ! Mengapa orang- orang masuk ke rumah Suwito ? Ayo kita ke sana !” Lanjut mas Cipto ketika melihat banyak orang yang menuju ke rumah Suwito.
Ketika sudah sampai di dalam rumah, mereka terkejut ketika melihat Suwito tergeletak diam dalam pembaringannya.
“Apa sudah meninggal ?” Tanya mas Cipto pada mas Marno yang sudah lama berada di rumah tersebut.
“Huss...pak Wito tidak meninggal ! tapi pingsan !” Jelas mas Marno.
“Apa karena Wulan menikah dengan mas Mardi ?” Tanya mas Ikhsan pada mas Marno.
“Sepertinya begitu.” Jawab mas Marno. “Sekarang kita pulang saja, nanti kalau kita berlama- lama disini malah mengganggu.” Lanjutnya.
Setelah berkata begitu, mas Marno yang kemudian diikuti oleh yang lain, berpamitan pada Jamilah. Rumah itupun menjadi sepi. Hanya Jamilah dan kedua putrinya yang duduk menunggui Suwito.
“Lihat bu, bapak sudah sadar.” Ucap Sekar pada ibunya ketika melihat ayahnya membuka mata.
“Dimana Wulan ?” tanya Suwito setelah sadar dari pingsannya.
“Ini Wulan pak.” Jawab wulan. “Maafkan Wulan yang telah membuat bapak  menjadi menderita seperti ini.” Lanjutnya sambil terisak.
“Bapak menginginkan semua anak- anak bapak hidup bahagia. Tidak bernasib seperti kedua orang tuamu ini. Itulah mengapa bapak mengijinkan kalian berdua untuk pergi meninggalkan kampung ini.” Ucap Suwito. “Selain itu, saya tidak ingin menjadi bapak yang memaksakan kehendak terhadap keinginan anak- anaknya untuk pergi mencari setetes rizky di Jakarta. Untuk itu pula bapak mengijinkan kalian. Tapi..” sepertinya Suwito tidak sanggup untuk meneruskan kata- katanya. Ia hanya menghela nafas panjang dan kemudian tertunduk. Mungkin ia merasa bahwa sekarang dalam keadaan penuh dilema. Terutama nasehatnya kepada Wulan, yang sepertinya hanya masuk lewat telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri. Wulan yang diharapkan bisa mengambil pelajaran berharga dari kejadian yang telah menimpa kakaknya, ternyata belum mampu untuk mengambil pelajaran dari peristiwa tersebut. Dan tanpa disadari oleh Wulan, bahwa efek dari kejadian yang juga menimpa dirinya, mengakibatkan kesengsaraan orang tuanya.
“Sekali lagi, maafkan Wulan pak. Wulan tahu bahwa Wulan tidak bisa menjaga amanah dari bapak.” Ucap Wulan ketika melihat bapaknya tidak melanjutkan perkataannya. “Maaf kan Wulan ya pak...” lanjut Wulan yang kemudian tidak sadarkan diri.
Satu hal yang sampai saat ini terus dipikirkan sebabnya oleh Suwito, mengapa kedua putrinya yaitu Sekar dan Wulan, sepertinya hanya terlahir untuk menerima kejadian nista. Dengan melihat Wulan, tentu saja bagi Suwito adalah melihat penyebab dari derita yang dialaminya.
Sekuntum bunga terakhir yang diharapkan bisa mengharumkan keluarga, ternyata tumbuh menjadi bunga bangkai yang menyebarkan bau tidak sedap bagi keluarga dan juga bagi kampungnya.
***
Bab. 9.
  Born For Broken (Terlahir Untuk Menderita)


Mungkin saja bagi Wulan, pengaaman bukan sebagai guru terbaik. Tindakan Suwito yang mengijinkan Wulan pergi ke Jakarta juga tidak sepenuhnya kesalahannya. Ini seperti yang dikatakan istrinya.
“Sudahlah pak, bapak harus bangun dan tetap melanjutkan hidup ini.” Kata Jamilah. “Semua kejadian ini bukan sepenuhnya salah bapak, karena setiap orang tua menginginkan semua anak- anaknya bahagia secara materi atau yang lainnya. Saya juga begitu pak.” Lanjut Jamilah panjang lebar.
“Menurutku, ini bukan jamannya Siti Nurbaya. Sehingga aku mengijinkan Sekar dan Wulan untuk menjalani pilihan hidupnya, tapi mengapa...” Suwito tidak melanjutkan perkataannya.
“Tapi mengapa pak ? lebih baik dikatakan saja. Bukankah aib keluarga ini sudah terjadi ?” desak Jamilah istrinya.
“Tapi mengapa anak- anakku sepertinya dilahirkan hanya untuk menderita ? Layu dipetik orang sebelum sempat berkembang ?” ucap Suwito.
“Sudahlah pak, kalau dipikir- pikir, saya sendiri juga bingung. Mengapa kejadian ini bisa terulang pada Wulan.” Kata Jamilah.
“Mungkin aku tidak akan lama lagi tinggal di dunia ini. Kalau hidup pun aku sudah tidak mempunyai harapan lagi, karena apa yang ku harap sudah sirna.” Ucap Suwito lirih.
“Mengapa bapak berkata seperti itu ? Bukankah berputus asa itu tidak boleh ?” kata Jamilah mengingatkan.
“Kamu lihat sendiri keadaanku. Sudah menderita hernia, kini ditambah dengan penderitaan jiwa. Umurku juga sudah tua.” Terang Suwito.
“Tapi kesabaran itu tidak ada batasnya pak. Siapa tahu Yang Maha Kuasa akan memberikan kebahagiaan setelah datangnya penderitaan ini.” Ucap Jamilah memberi semangat pada suaminya. “Malam sudah larut pak, sebaiknya kita beristirahat.” Lanjut Jamilah mengingatkan suaminya.
“Baiklah. Silakan engkau tidur di bilikmu, biarkan malam ini aku tidur di kursi bambu ini.” Suwito mempersilakan istrinya untuk beristirahat.
“Baik pak ! nanti kalau butuh apa- apa, silakan panggil saya.” Jawab Jamilah yang kemudian beranjak menuju biliknya.
***
“Bapaak..!!! Bapaak...!!! Mengapa bapak tinggalkan saya sendiri..??!” teriak Jamilah histeris di pagi buta hingga membuat tetangga yang mendengarnya segera berdatangan.
“Ada apa Jam ?! kok berteriak- teriak ?” tanya Rokayah begitu masuk rumah Suwito. Belum sempat dijawab, Rokayah langsung menyebut nama Tuhan ketika melihat Suwito terbujur kaku di atas kursi bambunya.
“Mengapa bapak tega meninggalkan saya sendiri ? hu..hu..hu...” teriak Jamilah yang tidak memperdulikan lagi telah banyak orang yang datang ke rumahnya.
“Yang sabar Jam. Lebih baik berdoa untuk suamimu dari pada terus menangis begini.” Ucap Taslimah sambil memeluk tubuh Jamilah. “Semua yang hidup pasti akan menemui yang menciptakannya Jam. Hanya tergantung waktu saja yang membedakannya.” Lanjut Taslimah.
“Huu..huu...Mengapa saya tidak dipanggil sekalian ? buat apa aku hidup di dunia ini ? huu..hu...” ucap Jamilah masih menangis tersedu.
“Tuhan Maha Pengasih Jam, ingatlah ! Wulan masih membutuhkan keberadaanmu. Bukankah sebentar lagi ia akan melahirkan anaknya ?” ucap  Rokayah untuk menguatkan hati Jamilah.
“Aku sudah tidak kuat lagi...huu...hu...aib dan musibah datang silih berganti...huu...hu...huu...”
“Jangan pernah menyesali hidup Jam, dan jangan membanding- bandingkan dengan kehidupan orang lain. Ingatlah jam, Tuhan mencintai orang- orang yang sabar.” Hibur Rokayah.
“Mana Sekar dan Wulan..?!! Dimana mereka..!” tiba- tiba Jamilah berteriak  menyebut nama kedua putrinya.
“Mereka berdua begitu sedih ditinggal bapaknya, hingga sekarang mereka belum sadarkan diri.” Jelas Taslimah.
“Mengapa anak- anak saya tega menyiksa bapaknya sendiri ?? huu...huu... bapak meninggal karena ulah mereka berdua ?? huu...hu...” tangis Jamilah yang terbawa emosi belum juga reda.
“Jalan kematian setiap manusia berbeda- beda Jam, jadi jangan menyalahkan anak- anak. Mereka juga begitu menderita dengan aib yang diterimanya.” Ucap Rokayah yang tidak henti- hentinya menguatkan hati Jamilah.
Tiba- tiba suasana menjadi hening, suara Jamilah tidak terdengar lagi. Rokayah dan Taslimah kemudian memperhatikan tubuh Jamilah dengan seksama. “Ya Allah...Jamilah pingsan !” ucap Rokayah.
***
Setelah suaminya meninggal, kondisi Jamilah semakin memprihatinkan. Selain jiwanya tergoncang hingga membuat tingkah lakunya tidak terkontrol, kesehatan fisiknya juga semakin lemah.
Dengan sabar Sekar menyuapi ibunya setiap kali waktu makan. Tetapi sudah sepekan ini Jamilah tidak mau makan sebutir nasipun. Badannya panas dan sering meracau memanggil nama suaminya.
“Ibu jangan mengigau terus, lebih baik ibu istirahat. Ini sudah larut malam bu.” Ucap Sekar pada ibunya.
“Tinggalkan ibu sendirian ! Tinggalkan ibu sendirian !” teriak Jamilah.
“Baik bu. Tapi ibu jangan berteriak- teriak begitu.” Pinta Sekar dengan lembut pada ibunya. Setelah itu, Sekarpun beranjak meninggalkan ibunya sendirian sesuai dengan permintaannya.
Keesokan paginya, Sekar selalu membangunkan ibunya sambil membawakan segelas teh hangat. “Bu ! ini tehnya diminum dulu !”
Setelah berulang kali dipanggil tidak menjawab, Sekar kemudian menyentuh tubuh ibunya. Tiba- tiba ia menangis dan berteriak minta tolong; “Tolong ! Tolong ! ibu menninggal !”
Begitu mendengar teriakan Sekar, warga segera berdatangan dan segera membantu mengurus jenazah Jamilah.
“Makanya kalau jadi anak harus menurut dengan orang tua, bukan malah menyengsarakannya !” ucap bu Rowiyah pada Sekar dan Wulan seusai acara pemakaman.
Mendengar perkataan bu Rowiyah, Sekar dan Wulan langsung menangis, karena secara tidak langsung, mereka berdua telah membuat kedua orang tuanya menanggung penderitaan.
“Yang terpenting sekarang adalah menata kehidupan yang akan datang. Ambillah peristiwa ini sebagai pelajaran yang sangat berharga dan sangat mahal harganya. Jangan sampai anak- anak kalian mengalami kejadian seperti yang kalian berdua alami.” Nasehat bu Rokayah pada Sekar dan Wulan. “Oh ya, karena urusannya sudah selesai, saya pamit dulu.” Lanjutnya berpamitan.
“Terimakasih nasehatnya bu. Nasehat ibu akan kami ingat selalu.” Ucap Sekar.
***
Sepeninggal kedua orang tuanya, nasib Wulan bukan semakin membaik melainkan tambah buruk. Kini ia harus tetap tinggal di kampungnya dengan buah hatinya yang msih kecil. Wulan hanya dinafkahi secara lahir selama 3 bulan saja, karena istri pertama mas Mardi tidak mengijinkan kalau mas Mardi memberi uang kepada Wulan. Aminah pun mengontrol langsung keuangan mas Mardi dengan ikut ke Jakarta.
Anggapan bahwa sebagai istri muda akan lebih bahagia dari pada istri tua tidak berlaku bagi Wulan. Bahkan nasib Wulan lebih buruk dari Sekar kakaknya. Jangankan nafkah lahir, nafkah batin pun tidak didapatkan Wulan. Ia tidak pernah lagi dijenguk oleh suaminya, karena suaminya kalah dengan istri pertamanya. Sungguh suatu kenyataan yang sangat tragis.
Perjalanan untuk menempuh suatu tujuan hidup tidak selamanya mulus, tetapi penuh onak dan duri. Mampu atau tidaknya orang menyingkirkan onak  dan duri yang ada di jalanan yang sedang dilewatinya ditentukan oleh kejeniusan seseorang tersebut untuk tetap fokus pada visi dan misinya. Benjamin Franklin juga pernah berkata: “Kejeniusan adalah kemampuan memfokuskan visi hingga menjadi kenyataan.”
Bunga itu kini tidak lagi indah dan harum, ia tumbuh tidak terawat diantara semak belukar. Setiap hari Wulan bekerja mencari kayu bakar di hutan dan kadang ikut buruh tanam padi. Anak semata wayangnya ikut menyaksikan betapa susah sang ibu menggumpulkan butiran rizki.
“Kalau sudah besar nanti, Sari akan bekerja di Ibu kota saja. Di kampung ini susah sekali mencari uang !” kata Sari pada Wulan ibunya dengan polos dan tiba- tiba.
Wulan begitu tertegun dengan perkataan putrinya. Ia pun tidak mampu membuka bibirnya untuk menanggapi pernyataan putrinya tersebut. Ia teringat akan nasehat ayahnya ketika ia minta ijin untuk pergi ke Jakarta. Ia juga tersadar kembali akan nasibnya sekarang ini.
***

G l o s a r i u m

    Wejangan: nasehat atau petuah
    Mikul dhuwur Mendhem jero: mengangkat harkat, martabat, dan derajad orang tuanya serta bisa menutupi kekurangan orang tuanya.
    Kuwalat: Terkena karma.
    Witing Tresna Jalaran saka Kulina: datangnya cinta karena seringnya bertemu.
    Pek lur (ngepek sedulur): menikah dengan saudaranya.
    Pek Co (ngepek konco): menikah dengan temannya sendiri.
    Pek Nggo (ngepek Tangga): menikah dengan tetangga sendiri.
    Pek Rid (ngepek Murid): menikah dengan muridnya sendiri.
    Dingklik: kursi pendek berbentuk segi empat yang terbuat dari papan kayu.
    Jabang bayi: janin.






 ditulis oleh:
Sugeng Cahyadi


Teacher Quote 20