Rabu, 30 September 2009

Artikel Pendidikan


Runtuhnya Konsep Higher- Order Thinking
Oleh: Sugeng Cahyadi, S.Pd.I

Pada tahun pelajaran 2007/ 2008 ini, mata pelajaran IPA di tingkat MTs/ SMP kembali dimasukkan dalam kelompok mata pelajaran yang di-Unas-kan. Hal ini tentunya membawa perubahan pada metode pengajaran IPA di kelas, khususnya kelas IX. Yaitu adanya kecenderungan pembelajaran yang dititik beratkan pada meteri Unas (Ujian Nasional) agar semua siswa bisa menembus target minimal dari standar nilai yang ditetapkan dalam Unas.
Perjuangan yang belum sampai pada titik kesimpulan untuk mengidentifikasi apa yang paling banyak bermanfaat dalam pendidikan ilmu pengetahuan alam (IPA), termasuk menciptakan pengajaran proses-proses keterampilan tentang penyelidikan pada ilmu pengetahuan alam (scientific inquiry), penerapan konsep- konsep dasar IPA secara tepat, penggunaan IPA dalam membuat keputusan setiap hari, membantu siswa mengenal bahwa IPA, teknologi dan kehidupan masyarakat saling mempengaruhi satu sama lain, maupun mengarahkan pengembangan berpikir siswa pada level tinggi (higher- order thinking) menjadi terhenti ditengah jalan.
Maksud dari perjuangan tersebut adalah untuk memberikan bekal kecakapan ilmu pengetahuan bagi peserta didik. Setidaknya pembelajaran IPA harus memberikan sumbangan terhadap terbentuknya kemampuan- kemampuan siswa, yang antara lain meliputi:
1. Mengidentifikasi dan mengenali masalah.
2. Merencanakan penyelidikan
3. Memilih metode, alat dan bahan.
4. Mengorganisasi dan melaksanakan penyelidikan secara sistematik.
5. Menginterpretasikan data pengamatan.
6. Mengevaluasi prosedur kerja dan menyarankan perbaikan.
Garis besarnya adalah bahwa selama proses pembelajaran berlangsung, kemampuan- kemampuan siswa untuk menggunakan ketrampilan proses seperti; mengajukan pertanyaan, menduga jawabannya, merancang penyelidikan, melakukan percobaan, mengelola dan mengolah data, mengkomunikasikan hasil temuannya, harus ditumbuhkembangkan. Siswa di sekolah tidak boleh diplot hanya untuk berlomba-lomba mengoleksi nilai, tapi mereka harus diberi “bekal”, karena mereka merupakan sebuah generasi yang harus survive.
Apabila pembelajaran IPA hanya berorientasi pada Unas, berarti pendidikan bertumpu pada perolehan nilai (value) dan proses pembelajaran hanya mengembangkan aspek kognitif siswa saja. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan konsep belajar, dimana belajar adalah serangkaian proses yang melibatkan berbagai aspek atau ranah ( baik kognitif, psikomotorik, maupun afektif ), yang akan membawa pada perubahan, baik dalam arti behavioral changes, aktual, maupun potensial.
Proses pembelajaran yang hanya berorientasi pada Unas juga tidak sesuai dengan ruh kurikulum pendidikan (KTSP) yang menekankan proses pembelajaran yang berpusat pada siswa, dimana siswa ditekankan untuk menguasai kompetensi-kompetensi tertentu yang hasilnya dapat diamati dalam bentuk tingkah laku atau keterampilan siswa.
Disisi lain, proses pembelajaran IPA dengan mengembangkan metode penyelidikan ilmiah (scientific inquiry), akan mengubah sikap siswa yang tradisional dari pasif menjadi pelajar aktif, karena dengan pendekatan scientific inquiry siswa menjadi terlibat langsung dan menjadi pemeran utama dalam setiap proses pembelajaran. Tentunya yang demikian adalah sesuai dengan makna dan konsep belajar itu sendiri.
Begitu kompleksnya sistem pendidikan itu, sehingga dalam kesempurnaan sistem pendidikan, tidak terasa kita terjebak dalam lingkaran sistem tersebut. Tidak terasa pula kita telah keluar dari makna dan konsep belajar. Sungguh tepat sindiran Albert Einstein berikut: “Tampaknya zaman kita dicirikan oleh kesempurnaan cara dan kacaunya tujuan”.
Hasil atau produk dari pendidikan adalah investasi jangka panjang dan tidak dapat dinikmati dalam waktu yang singkat. Tidak ada masalah yang mustahil dipecahkan, meskipun ada tugas yang mustahil dilaksanakan. Meski sangat sulit, guru IPA saat ini dituntut agar selain siswanya sukses Unas, juga harus tetap mendorong dan memelihara pengungkapan diri dan kreativitas tiap- tiap siswa. Guru tidak hanya menempatkan siswa dalam belajar secara kontekstual tetapi juga harus menerobos dniding pembatas guna melakukan sinkronisasi antara dunia nyata (pasar kerja) dengan dunia pendidikan, Tentunya hasil tersebut kurang maksimal karena harus berbagi waktu dengan pengajaran materi Unas.
Proses pendidikan tentu tidak bisa terlepas dari proses penilaian (evaluasi), karena evaluasi digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan suatu individu (siswa) terhadap suatu materi yang telah dipelajari dan diajarkan. Penilaian jika dilihat dari fungsi didaktisnya akan membantu memberikan gambaran kemampuan, baik kemampuan siswa selama proses pembelajaran maupun keberhasilan guru dalam proses pengajarannya.
Idealnya sistem penilaian, terutama penilaian nasional (Unas) hendaknya harus sesuai dengan pola pada proses pembelajaran, bukan penilaian yang dilakukan pada akhir suatu unit studi dan dititik beratkan pada nilai dan formalitas. Kita bisa membandingklan dengan sistem penilaian di Amerika Serikat. Bahwa pada tahun 1990, Komite Nasional untuk Kebijakan Publik dan Pengujian telah merekomendasikan beberapa poin perubahan tentang penilaian, diantaranya adalah restrukturisasi pada pola testing penilaian yang mengacu pada pengembangan dan pemberdayaan bakat manusia, serta membatasi ketergantungan terhadap test pilihan ganda karena hasilnya kurang valid.
Kesimpulan akhirnya adalah perlunya kesamaan persepsi antara para tenaga pendidik di lapangan dengan para praktisi pendidikan (pemerintah) untuk segera merubah sistem penilaian nasional dengan pendekatan- pendekatan penilaian yang mencakup lebih banyak apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dilakukan oleh siswa, baik didalam ataupun diluar lingkungan sekolah. Atau penilaian yang sesuai dengan tujuan dan makna dari belajar itu sendiri.

Sugeng Cahyadi
Guru IPA MTs. Negeri Purworejo
Jl. Keseneng- Purworejo. 54119

Artikel Pendidikan


Kredibilitas Ruh Guru. Sudahkah ?
Oleh: Sugeng Cahyadi, S.Pd.I

“Siapakah Anda? Bukankah Anda adalah orang yang mendapat shalawat dari Allah SWT. dan Malaikat-Nya? Bukankah Anda yang menyebabkan para Malaikat merendahkan sayap- sayapnya untuk mengagungkan Anda? Bukankah Anda orang yang menyebabkan ikan- ikan di lautan membacakan istighfar untuk Anda? Jika begitu, Anda adalah orang yang bermahkota tinggi dan terhormat.” Itulah sekelumit pujian untuk para guru yang disampaikan oleh Mahmud Samir Al-Munir dalam bukunya Al-Mu’allimur Rabbani yang membuat para guru terharu sekaligus bersedih, karena kita tahu bahwa batas antara bangga dengan ujub (sombong) sangat tipis. Sehingga guru sering tertipu.

Guru Yang Terkelabui
Guru tidak boleh terlena dengan mahkota suci dan tugas mulianya, beserta ilmu yang dimilikinya, hingga membuat seorang guru menjadi ghurur (terkelabui karena ilusi diri sendiri maupun dari bisikan setan) oleh kedudukan dan ilmunya. Sehingga mengira bahwa guru memiliki kedudukan istimewa disisi Allah SWT. tapi ingatkah kita bahwa ilmu itu ada dua macam? Yaitu ilmu Mu’amalah (berkaitan dengan hubungan antar manusia) yang semata- mata untuk diamalkan dan dipraktekkan, serta ilmu Mukasyafah (berkaitan dengan Allah SWT. serta sifat- sifat-Nya) atau biasa disebut ‘ilm al-ma’rifah, sebagai manifestasi ketaqwaan yang juga harus diamalkan dan dipraktekkan.
Guru adalah pengemban risalah para Nabi dan Rosul, sehingga ditangannya terletak masa depan umat. Oleh karena itu, seorang guru harus menyadari profesi dan tanggung jawabnya yang besar. Seorang guru harus memperbaiki dirinya terlebih dahulu sebelum meminta anak didik memperbaiki dirinya, karena yang baik menurut anak didik adalah apa yang guru perbuat dan yang buruk menurut mereka adalah apa yang guru tinggalkan (guru kencing berdiri, murid kencing berlari). Titik introspeksi guru adalah Q.S. Al-Baqarah: 44; ”Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaktian, sedangkan kamu melupakan diri(kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?”
Seorang penyair Mesir (Ahmad Syauqi) pernah berkata: ”Jika guru berbuat salah sedikit saja, akan lahirlah siswa- siswa yang lebih buruk darinya”. Hingga ia berkata: ”Kalau akhlak suatu kaum bejat, adakanlah tahlil (kematian) dan tangisan untuk para guru”.
Untuk menyelamatkan diri dari ghurur (terkelabui), hujjatul Islam Al-Ghozali dalam kitab Dzanm’l Ghurur, maka seorang guru harus mempunyai tiga hal yang merupakan satu kesatuan, yaitu; akal, ilmu dan ma’rifat. Melalui akal, maka manusia dapat mengerti hakekat segala sesuatu. Dengan ilmu, maka manusia dapat mengetahui maksud- maksud yang dikandungnya. Dengan ma’rifat manusia dapat mengenali dirinya sendiri, mengenali Tuhannya, mengenali dunia dan mengenali akhirat.

Guru Yang Lupa Akan Motto-nya
Rasulullah SAW. bersabda: ”Kalau Allah SWT. memberi hidayah kepada seseorang melalui kamu, itu lebih baik bagimu dari pada harta yang banyak”. Inilah motto guru untuk berdakwah menyirami hati anak didik dengan ilmu yang bermanfaat dengan tujuan untuk menyebarkan ilmu dan menghidupkan akhlak mulia, agar terjadi kebaikan yang berkesinambungan bagi umat.
Satu hal yang sering dilupakan guru, yaitu tidak mendo’akan anak didiknya setiap waktu agar hatinya dibukakan untuk menerima hidayah melalui usaha pembelajaran yang dilakukan guru, karena hanya Allah SWT-lah sebaik- baik penolong dan pemberi hidayah. Anak- anak didik hari ini, dimasa depan adalah orang- orang yang akan memegang peran di masyarakat dan pengatur segala urusan umat. Apabila hari ini guru mengarahkan mereka dengan benar, mereka akan keluar menjadi generasi yang berilmu dan bertaqwa. Mereka bekerja demi mengharap ridho Allah SWT, sehingga terciptanya masyarakat yang berperadaban (masyarakat Madani) bukan merupakan suatu impian, karena hati mereka terbuka akan hidayah dan jiwanya diliputi dengan jihad fisabilillah. “Barang siapa menyeru kepada hidayah, dia berhak mendapat pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya…Dan barang siapa menyeru kepada kesesatan, dia mendapat dosa seperti dosa orang-orang yang mengikutinya…(H.R. Turmudzi).

Guru Yang Ilmunya Sebentar Lagi Mati
Guru adalah teladan bagi anak didiknya dalam segala perkataan, perilaku, akhlak serta intelektualnya. Ingatkah bahwa ilmu pengetahuan bersifat relatif?, jadi ilmu pengetahuan akan terus berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban suatu generasi dan sejalan dengan entropi (kekuatan/gaya yang berkembang terus-menerus) dari alam semesta. Intelektual guru jangan sampai setingkat dengan anak didiknya, maka dari itu, guru jangan hanya mengetahui tentang apa yang ada didalam buku diktat pelajaran saja. Guru yang jarang membaca adalah guru yang akalnya akan mati, diiringi oleh kematian ilmunya yang telah kadaluwarsa yang tidak bisa memberikan solusi akan permasalahan masa kini.
Apa yang harus dibaca dan dipelajari guru?. Komik atau Novel percintaan?. Yang harus dibaca dan dipelajari guru adalah seperti yang dimaksud dalam sabda Rosulullah SAW: ”Sebaik- baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya”. Al-Qur’an adalah sumber dan induk segala bidang ilmu pengetahuan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta sampai hancurnya alam semesta tersebut. Yang sering dilupakan dan tidak dilakukan adalah bahwa didalam Al-Qur’an kita diwajibkan untuk mempelajari (observasi) ayat Allah SWT. yang berupa alam semesta beserta isinya (ayat Kauniah).
Sebagai pewaris nabi dan rosul, guru seharusnya merupakan gudang ilmu pengetahuan yang bisa mencerahkan umat manusia dari segala sifat dan bentuk kejahiliyahan. Guru itu layaknya sungai yamg harus memberi minum kepada orang- orang yang kehausan, mengubah tandusnya akal menjadi kesuburan ilmu pengetahuan. Bukankah Allah SWT. sudah menyediakan organ- organ bagi kita untuk mencerap ilmu pengetahuan?, sebagaimana yang tertuang dalam Q.S. As-Sajdah:9 ; ”…Dan Allah SWT. menjadikan untuk kamu Pendengaran, penglihatan, dan hati, (tetapi- mengapa) kamu sedikit sekali bersyukur?”



Sugeng Cahyadi, S.Pd.I
Guru IPA. MTs. Negeri Purworejo
Jl. Keseneng- Purworejo. 54119

Artikel Pendidikan

Matinya Konsep Tholabul Ilmu
Oleh: Sugeng Cahyadi, S.Pd.I.

Mencari ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim laki- laki maupun perempuan. Allah SWT. juga telah menegaskan dengan janji-NYA, bahwa orang- orang yang mempunyai (menguasai) ilmu pengetahuan akan ditinggikan beberapa derajat (Q.S. Al Mujaadilah:11). Tidak ada salahnya juga, jika kita merenungkan perkataan Albert Einstein bahwa: “Takkan timbul sesuatu yang benar- benar berharga dari ambisi atau dari sekedar merasa berkewajiban”.
Dari berbagai pengertian di atas, kita akan menjadi tahu dimanakah keberadaan diri kita dalam upaya menjalankan tuntunan syariat dalam mencari ilmu. Apakah menuntut ilmu hanya merupakan kewajiban, atau sekaligus sebagai suatu kebutuhan.

Manajemen Cita- cita
Setiap orang tua selalu menginginkan anak- anaknya menjadi manusia terbaik, mempunyai akhlaqul karimah dan berkedudukan (mapan ekonomi), akan tetapi para orang tua seringkali lupa atau tidak sempat, atau memang tidak mempersiapkan anak- anak mereka sejak dini dengan mengenalkan dan menerapkan pembelajaran, bahkan mulai anak sejak di dalam rahim sang ibu. Ingatkah dengan teori pendidikan yang muncul 1400 tahun yang lalu, bahwa Rosulullah SAW. bersabda:”Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi adalah orang tuanya”.
Berdasar sabda Nabi tersebut, ternyata pendidikan atau sistem pendidikan sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian maupun intelektual anak. Menurut berbagai penelitian tentang perkembangan kecerdasan, ternyata pada fase hamil adalah sangat penting bagi pertumbuhan kemampuan intelektual janin, yang bisa didapat dari pola makan (halalan thoyiban), keseimbangan mental ibu hamil, serta penanaman pendidikan pra-natal.
Pengharapan orang tua terhadap anak- anaknya tentunya tidak akan tercapai jika orang tuanya sendiri tidak peduli dengan konsep pendidikan anak- anaknya sejak dini. Hal ini bisa lebih diperparah lagi bila orang tua dan para pendidik salah dalam menerjemahkan tentang konsep pendidikan.
Tugas para pendidik, baik orang tua maupun tenaga kependidikan mulai saat ini adalah mengembalikan pendidikan sesuai dengan konsepnya. Makna yang terkandung dalam konsep Tholabul Ilmu adalah pemahaman yang bermuara pada penguasaan serta pengembangan yang berorientasi pada aplikasi terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan yang telah dikuasai tetapi tidak dikembangkan, maka ilmu tersebut akan mengalami kemandegan (stagnan).Tentunya hal ini tidak sesuai dengan tugas manusia sebagai khalifah di bumi untuk mengelola dan memelihara segala apa yang ada di bumi untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia. Tidak berkembangnya ilmu pengetahuan pernah disinggung oleh Einstein melalui ungkapannya :”Tidak ada tanda yang lebih pasti tentang ketidak-warasan ketimbang melakukan hal yang sama berulang- ulang dan mengharapkan hasil- hasilnya berbeda”.
Titik akhirnya adalah jangan pernah tanyakan berapa nilaimu pada anak didik kita, tetapi berkatalah:”Tolong jelaskan padaku apa yang telah engkau pelajari hari ini, dan apa yang akan engkau lakukan dengan apa yang telah engkau dapat hari ini”.

Kembali Pada Konsep
Ternyata kesalahan konsep sistem pendidikan sudah ada sejak zaman Albert Einstein masih sekolah, karena ia pernah berkata: ”Satu- satunya hal yang menghambat pembelajaran saya adalah pendidikan saya”. Ia merasa terkungkung pola pikir dan kreativitasnya, karena di sekolah dipaksakan dalam standarisasi yang bersifat kaku dan mengabaikan ide- ide siswa. Akhirnya ia lebih suka tidak masuk kelas dan melewatkan waktunya dalam laboratorium, yang pada akhirnya ia menemukan teori Relativitas.
Otak (akal) manusia sungguh hebat, karena memiliki kapasitas yang tak terbatas untuk mencipta atau berkarya. Kita bisa lebih jenius dibanding Einstein, hanya saja pemikiran kita terbelenggu oleh pemahaman terhadap konsep mencari ilmu yang salah, karena dalam menuntut ilmu kita masih sampai pada taraf yang penting naik kelas atau lulus ujian nasional (UAN), bukan pada penguasaan ilmu itu sendiri.
Akhirnya output yang dihasilkan hanya mengalami kebingungan meski di negara sendiri, karena output tidak mempunyai kecakapan ilmu pengetahuan, dan ternyata mereka baru sadar bahwa mereka tidak mendapatkan ilmu apapun setelah bertahun- tahun menghabiskan waktunya mengenyam pembelajaran di lembaga pendidikan. Output kita bagaikan orang buta yang kehilangan tongkat, bersaing di pasar kerja tidak bisa, mencipta lapangan kerja sendiripun tak dapat Akibatnya pengangguran pun terus menumpuk dari tahun ketahun dan ternyata output pendidikan Indonesia belum bisa menagih janji Allah SWT. Seperti yang tertuang dalam Q.S Al-Mujaadilah:11, akibat terjadinya kesalahan konsep dalam menuntut ilmu.
Untuk mencari solusi terhadap bagaimana konsep mendapatkan ilmu pengetahuan, kita harus memiliki visi yang jelas. Visi yang jelas dapat menyelamatkan kita, meskipun kita berada didalam sistem yang kacau. Kesepahaman antara anak dan orang tua perlu ditanamkan dan dikembangkan sebagai bentuk pengalaman pembelajaran dini. Pengalaman sejak dini yang diberikan pada anak tentang bagaimana konsep dalam menuntut ilmu yang benar, yang mengedepankan proses yang bermuara pada pemahaman dan penguasaan, akan membuat perkembangan otak anak menjadi pesat. Dengan demikian kita tidak membunuh ide- ide jenius dan rasa ingin tahu anak, karena anak tidak terbebani dengan target- target yang bersifat ambisius yang tidak sesuai dengan kemampuan anak dalam mendapatkan suatu ilmu pengetahuan.
Jika kita memahami bahwa menuntut ilmu selain sebagai kewajiban melainkan juga sebagai kebutuhan kita, niscaya dalam menuntut ilmu kita akan ikhlas, tetap fokus pada tujuan, yaitu menguasai dan mengamalkan ilmu karena telah mendapat amanah sebagai khalifah planet bumi, maka hasilnya pun akan baik karena kita tidak membawa pamrih tertentu dan kita selalu dilandasi oleh sikap tawakal.

Sugeng Cahyadi, S.Pd.I
Guru IPA Terpadu MTs. Negeri Purworejo

Rabu, 09 September 2009

CERDAS ITU PERMAINAN


Jika Cerdas itu Permainan maka Belajar adalah Bermain
Oleh: Sugeng Cahyadi

Mengapa ada manusia yang dianggap cerdas dan ada manusia yang dianggap tidak (belum) cerdas ? Padahal manusia memiliki ‘modal’ yang sama, yaitu kulu mauludin yuladu ‘alal fitroh yaitu bahwa setiap manusia yang dilahirkan dalam keadaan fitroh (suci). Lantas bagaimana agar menjadi manusia cerdas ? Karena kecerdasan bukanlah wahyu Tuhan yang diturunkan begitu saja, maka kecerdasan diperoleh melalui sebuah proses. Proses tersebut adalah belajar. Jadi cerdas dan tidaknya seseorang terletak pada pandangan konsepnya tentang belajar dan cerdas itu sendiri.

Cerdas itu Permainan

Berdasarkan ‘modal’ yang dimiliki setiap manusia tersebut, setiap manusia mempunyai kemampuan dan hak untuk cerdas. Proses cerdas dimulai dari dalam diri, maka kita harus aktif terlibat dalam proses untuk menginginkan cerdas tersebut.
Setiap permainan pasti mempunyai aturan main (rules of the game), jadi agar lebih mudah mengendalikan permainan dan lebih cepat menuju kemenangan haruslah mengerti dan memahami aturan mainnya. Apabila cerdas itu permainan, maka inilah aturan mainnya; 1) mempunyai hasrat untuk cerdas, 2) percaya diri, 3) Efisiensi waktu, 4) cerdas is never ending process (cerdas merupakan proses yang tidak mempunyai kata akhir). Dan berikut adalah paparan ringkas dari aturan- aturan tersebut.
Mempunyai hasrat untuk cerdas merupakan sasaran, keberanian, keyakinan dan janji awal untuk mewujudkan menjadi cerdas. Cherie Carter- Scott, Ph.D berpendapat bahwa hasrat adalah langkah awal untuk memulai menggerakkan permainan dan semua berawal dari hasrat (keinginan), bukan dari khayalan atau imajinasi kosong.
Percaya diri akan diri berarti mengenal diri sendiri, yang akan mengantar ke jalan yang menjadi milik kita sendiri. Percaya diri juga berarti menghormati kebenaran sejati dalam diri kita. Seringkali kita terpengaruh ketika orang lain menganggap kita ‘bodoh’ atau kurang mampu. Padahal orang lain tidak mengetahui secara detail siapa diri kita sebenarnya. Jadi yang bisa menentukan keputusan terbaik ketika kita menghadapi masalah individual adalah diri kita sendiri. Dengan percaya diri, kita bisa memberdayakan segala potensi diri menuju potensi yang paling tinggi, sehingga memberikan kesempatan yang lebih besar untuk mencapai kecerdasan yang kita inginkan. Percaya diri membuat kita mampu menghubungi hasrat kita, sehingga bisa menentukan sasaran- sasaran kita, keinginan kita dan menentukan pilihan kita.
Efisiensi waktu adalah pemanfaatan waktu seoptimal mungkin untuk mencapai sasaran kita. Seperti yang telah dituliskan oleh Yusuf Qardhawi bahwa barang siapa tidak mengerti nilai waktu sekarang ini (waktu hidupnya), maka akan datang padanya suatu masa dimana pada masa itu ia akan mengerti nilai keindahannya dan nilai amal didalamnya. Namun sayang, masa yang indah itu telah hilang.
Al Qur’an mengingatkan adanya dua masa bagi manusia yang akan menyesali karena telah menyia- nyiakan waktunya, tetapi penyesalan tersebut tiada berguna. Masa yang pertama adalah sakaratul maut, biasanya manusia menginginkan ajalnya diundur agar dapat memperbaiki segala amal perbuatan. Masa yang kedua adalah masa kehidupan di akhirat, dimana setiap perbuatan diberi balasan. Bagi yang menyia- nyiakan waktu, mereka mendapat sikssa, sehingga mereka meminta untuk kembali ke dunia untuk beramal saleh. Namun sayang waktu beramal telah usai.
Efisiensi waktu akan tercapai apabila kita menyusun sasaran- sasaran hidup kita dengan matriks yang cerdas dan jelas. Cherie Carter- Scott mengungkapkan agar sasaran- sasaran ada dalam jangkauan kita, sasaran tersebut haruslah berupa sasaran SMART. Bila sasaran tidak SMART maka itu bukan sasaran, tetapi sekedar niat. Jadi semua sasaran harus mempunyai kriteria yang sifatnya SMART ( Specific- Measurable- Attainable- Realistic- Time based). Pertama sasaran harus spesifik, harus diungkapkan dengan tepat apa yang kita maksud atau ingin kita capai. Kedua, sasaran harus terukur (measurable), dimana kita bias menghitung atau menandai hasilnya dengan suatu cara. Ketiga, sasaran harus bisa diraih (Attainable) sesuai profil professional / SDM kita. Keempat, sasaran harus realistis (realistic), sebagai contoh, apakah realistis jika kita ingin menjadi pelari professional tapi kita mempunyai kelainan lutut ?. kelima, sasaran harus didasarkan pada batas waktu (time based), setiap sasaran harus mempunyai tanggal penyelesaian. Kalau tidak ditetapkan tanggal penyelesaiannya, maka hasil yang diinginkan lebih merupakan niat dan imajinasi dan tertunda oleh janji abadi “akan saya selesaikan besok” dan dijangkiti virus “jangan sekarang”.
Aturan main terakhir, bahwa cerdas bukan suatu keadaan yang ada akhirnya. Selalu ada hakekat- hakekat, pandangan- pandangan dan pelajaran- pelajaran baru untuk dijelajahi. Seolah kita sudah jauh “disana” tetapi ketika kita sadari, ternyata kita masih “disini”. Hingga T.S. Eliot pernah berkata bahwa yang kita namakan awal seringkali justru merupakan akhir. Dan mengakhiri adalah membuat permulaan. Akhir adalah darimana kita berangkat.
Alasan mengapa cerdas adalah proses yang tidak pernah berakhir adalah karena definisi kita tentang cerdas senantiasa berubah dan meningkat. Jika cerdas mempunyai titik akhir, maka kita telah gagal menjalani permainan ini.


Belajar adalah Bermain
Untuk mencapai sasaran cerdas, tentunya tidak lepas dari proses yang bisa membuat seseorang menjadi cerdas, yaitu BELAJAR. Apabila seseorang telah belajar tapi tidak menjadi cerdas, maka perlu dicari penyebabnya. Pertama kita harus tahu definisi cerdas terlebih dahulu. Pada dasarnya kecerdasan manusia itu unik dan semuanya secara individual, tetapi individu- individu tersebut memberi kontribusi signifikan pada kehidupan manusia. Gardner mendefinisikan kecerdasan dengan tidak memandang bahwa kecerdasan manusia berdasar skor tes I.Q, tetapi kecerdasan adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah, kemampuan menghasilkan persoalan- persoalan baru untuk diselesaikan dan kemampuan mencipta/ menawarkan jasa yang menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang.
Kedua, kita lihat sistem lembaga pendidikan dimana kita belajar. John Dewey berpendapat bahwa pendidikan yang diterima di sekolah, idealnya terdiri dari kontinuitas keseluruhan pengalaman daripada suatu seri wacana abstrak yang terfragmentasi, yang dilakukan oleh beberapa pendidik.
Dengan demikian, lembaga pendidikan yang baik tentunya tidak melakukan ‘pemerkosaan intelektual’ peserta didiknya. Peserta didik tidak diharuskan untuk menjadi orang super yang menguasai semua jenis kecerdasan. Sistem belenggu seperti ini akan menjadikan proses belajar menjadi hal yang menakutkan dan menjemukan, sehingga pintu menuju cerdas menjadi tertutup. Seharusnya siswa digali, dibimbing dan difasilitatori untuk mengembangkan bakat, kemampuan dan keinginan mereka masing- masing. Niscaya kalau keinginan seseorang dihargai menjadikan proses belajar mereka menjadi hal yang menyenangkan. Belajar tidak ubahnya dengan bermain dan pintu menuju cerdas terbuka lebar.


Sugeng Cahyadi, S.Pd. I
Guru IPA MTs Negeri Purworejo
Jl. Keseneng- Purworejo. 54119

Teacher Quote 20