Rabu, 03 Februari 2010


Learning For Life atau Learning For Competition ?
(Refleksi Detik- detik Akhir UN 2010)
Oleh: Sugeng Cahyadi

“Salah satu fungsi sekolah (pendidikan) adalah menyiapkan siswa untuk menghadapi dunia nyata. Mereka perlu disadarkan tenang harapan yang mereka pikul, tantangan yang mereka hadapi, dan kemampuan yang perlu mereka kuasai.” (Renate N. Caine dan Geoffrey Caine). Pernyataan tersebut adalah gambaran ringkas dari konsep learning for life (belajar untuk hidup) yang seharusnya dijadikan tujuan dari sebuah pembelajaran atau pendidikan, karena pendidikan adalah tujuan terpenting dalam kehidupan, baik secara individu maupun secara keseluruhan. Kemudian, bagaimana dengan tujuan pendidikan Negara kita (Indonesia) ? Apakah berorientasi pada learning for life ? Untuk menemukan jawabannya, tentunya kita harus melihat dan merasakan langsung realita- realita yang ada pada dunia pendidikan kita.

Pendidikan Yang Tidak Berkeadilan
Meskipun sudah ada keputusan MA tentang ‘dilarangnya’ penyelenggaraan Ujian Nasional (UN), tetapi untuk UN tahun pelajaran 2009 / 2010 (baca: UN 2010) tetap dilaksanakan. Dasar hukum UN 2010 adalah Permendiknas no. 75 tahun 2009.
Apa esensi UN bagi sistem pendidikan kita ? Bukankah Negara Finlandia merupakan Negara yang pendidikannya termasuk kategori baik (maju), meskipun tanpa menerapkan adanya UN ? Apakah UN dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan secara nasional ? Akan tetapi, bukankah soal- soal UN yang diujikan mempunyai grade- grade tertentu ? Yaitu grade untuk wilayah Upper (tinggi), Middle (sedang) dan Lower (rendah). Inilah yang akhirnya menjadikan output nasional campur aduk menjadi satu, baik yang berasal dari wilayah upper, middle dan lower akan mempunyai predikat yang sama, yaitu LULUS UN 2010 meskipun mereka mengerjakan soal dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Inilah wilayah ‘abu- abu’ (baca: samar- samar) dari sistem pendidikan Indonesia, dimana kita tidak akan bisa lagi mengetahui dan membedakan mana output perwakilan dari ‘grade’ lower, ‘grade’ middle dan ‘grade’ upper. Apakah ini sebuah keadilan penilaian ? Ingatlah bahwa Rasul SAW sudah menasehatkan: “Bersikap adillah kepada semua anak kalian.” Apakah hal seperti ini juga yang membuat Albert Einstein begitu membenci sekolah ? “satu- satunya hal yang menghambat pembelajaran saya adalah pendidikan saya.” (Albert Einstein).

Pendidikan Hanya Untuk Berkompetisi
Yang dimaksud dengan berkompetisi disini adalah kompetisi untuk ‘mengoleksi’ nilai dan meraih predikat. Saat ini, nilai (value) dalam dunia pendidikan menjadi satu- satunya barang mewah yang harus dipajang pada tempat tertinggi dimasing- masing sekolah. Indonesia adalah Negara yang penuh dengan kompetisi (persaingan), sehingga tujuan pendidikan-pun terpeleset menjadi pendidikan untuk berkompetisi (learning for competition). Lihatlah, mulai dari jabatan presiden hingga kepala desa merupakan bentuk kompetisi, sehingga kita menjadi tidak asing lagi dengan kata ‘tim sukses’ yang sudah pasti ada dalam sebuah kompetisi. Untuk menghadapi UN, setiap sekolah juga mempunyai tim sukses yang mempunyai tujuan supaya sekolahnya LULUS UN 100 % dan tim sukses antar sekolah juga saling berkompetisi, sehingga ‘special treatment’ (perlakuan khusus) yang dialami siswa disetiap sekolah juga berbeda- beda.
Inilah persaingan, sehingga output pendidikan sudah dipersiapkan dan dilatih untuk bersaing sejak dini, karena kita hidup di Negara yang penuh persaingan. Dengan demikian, hasil penelitian Blazely (1997) yang menyimpulkan bahwa pembelajaran di sekolah ternyata cenderung sangat teoritis dan tidak terkait dengan lingkungan tempat siswa berada, sehingga output yang dihasilkan tidak mampu memecahkan persoalan kehidupan yang dihadapi, bisa tidak berlaku di Negara kita. Betulkah demikian ? Bagaimana jika para output pendidikan ini malakukan persaingan yang tidak sehat atau persaingan kotor yang mengabaikan norma didalam kehidupan nyata setelah mereka lulus ? Kesimpulannya, berhasil atau gagalkah tujuan pendidikan kita ? Mari kita renungkan bersama kritiknya Ahmad Syauqi (penyair Mesir) terhadap dunia pendidikan: “Kalau akhlak suatu kaum bejat, maka adakanlah tahlil kematian dan tangisan untuk para guru.” Pendidikan itu layaknya sungai yamg harus memberi minum kepada orang- orang yang kehausan, mengubah tandusnya akal menjadi kesuburan ilmu pengetahuan.


Nilai Atau Ilmu Pengetahuan ?
Apakah dengan memperoleh nilai yang tinggi berarti seseorang telah menguasai ilmu pengetahuan yang sempurna (baik) ? untuk mencari kebenaran jawabannya, mari kita renungkan beberapa bukti- bukti berikut:
Didalam sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan, tepatnya QS. Al- Mujadilah: 11 telah begitu jelas bahwa yang akan ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT adalah orang- orang yang mempunyai ilmu pengetahuan lagi beriman. Pada ayat tersebut tidak disebutkan mengenai nilai (value), tetapi ilmu pengetahuan. Lihat juga pada QS. Thaha: 114 sebagai berikut: “Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”.
Bukti yang lain adalah bahwa soal UN berbentuk multiple choice atau pilihan ganda, sehingga sangat sulit jika digunakan untuk mengukur kemampuan atau kompetensi seseorang, karena dengan bentuk multiple choice tidak akan bisa mengetahui analisis seseorang terhadap suatu permasalahan yang disajikan. Bentuk pilihan ganda memungkinkan adanya ‘gambling’ (untung- untungan / spekulasi) apabila seseorang yang diuji tidak bisa atau merasa ragu dengan jawabannya. Kita bisa membandingkan dengan sistem penilaian di Amerika Serikat, bahwa pada tahun 1990, Komite Nasional untuk Kebijakan Publik dan Pengujian telah merekomendasikan beberapa poin perubahan tentang penilaian, diantaranya adalah restrukturisasi pada pola testing penilaian yang mengacu pada pengembangan dan pemberdayaan bakat manusia, serta membatasi ketergantungan terhadap test pilihan ganda karena hasilnya kurang valid.
Pendidikan (sekolah) yang tujuannya hanya memberikan prestasi akademik tanpa kemampuan dan tanpa metode, tidak akan bisa menjamin peserta didiknya beradaptasi dengan komunitas yang lebih besar pada kehidupan nyata. Metode pendidikan yang baik adalah yang mampu memberikan peluang kepada peserta didiknya untuk maju dan berhasil dalam semua aspek keilmuan, mampu melahirkan nilai- nilai dan penanaman akhlak mulia serta menjamin kemampuan untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan budaya.



Sugeng Cahyadi, S. Pd. I Guru IPA MTs Negeri Purworejo Jl. Keseneng- Purworejo. 54119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teacher Quote 20