Selasa, 24 November 2009

Pendidikan Yang Membingungkan


Pendidikan Yang Membingungkan
Oleh: Sugeng Cahyadi

Hal pokok yang harus diingat, ditegaskan dan dipahami dalam dunia pendidikan adalah tentang pengertian atau makna belajar. Dari banyaknya pengertian belajar, maka dapat kita simpulkan bahwa belajar adalah sebuah proses yang melibatkan berbagai aspek/ ranah (kognitif, psikomotorik dan afektif), yang akan membawa pada perubahan, baik dalam arti behavioral changes, aktual maupun potensial. Esensi dari makna belajar tersebut tidak akan tercapai apabila sistem pendidikan yang ada, arah dan sasarannya tidak jelas. Tom massey mengungkapkan bahwa satu alasan mengapa belajar menjadi sangat penting, adalah bahwa belajar akan menjadikan seseorang mampu menghadapi perubahan dengan positif dan produktif. Ketika terjadi perubahan, seseorang hanya mempunyai dua pilihan : korban perubahan atau menjadi agen perubahan. Sebetulnya, berbagai usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan sudah banyak dilakukan oleh pemerintah sebagai penanggung jawab utama pendidikan. Mulai dari desentralisasi pendidikan hingga munculnya UU BHP yang meski menuai pro dan kontra, maupun sampai pemanfaatan sistem ICT (Information and communication Technology) dalam dunia pendidikan. M. Nuh yang menjabat Mendiknas saat ini juga mengagendakan adanya reformasi pendidikan, seperti yang disampaikannya dalam rapat kerja dengan komisi X DPR tanggal 11 November 2009, mengatakan bahwa: “Saat ini kami sedang mempersiapkan landasan reformasi di dunia pendidikan Indonesia.” Sektor pemanfaatan ICT juga menjadi salah satu program utamanya, yaitu dengan adanya program penyediaan internet massal ke 17.500 sekolah, yang direncanakan sudah terpasang pada bulan Januari 2010. Sejak era reformasi berjalan, reformasi dunia pendidikanpun masih berjalan di titik nadhir, sehingga revolusi pendidikan perlu segera dilakukan. Tentunya bukan revolusi setengah hati yang bersifat parsial. Supaya revolusi pendidikan tidak terjebak pada industrialisasi dan kapitalisasi, maka makna belajar harus dijadikan sebagai titik acuan. Hal ini juga akan menghindarkan pendidikan kita terjebak dalam konsumerisme, terutama konsumerisme teknologi. Saat ini pendidikan kita masih berorientasi pada hasil (output), sehingga menghasilkan sistem ‘kejar target’ (yang penting siswa lulus Ujian Nasional / UN). Namun sayang, output pendidikan yang dihasilkan malah menjadi beban bagi masyarakat karena tidak mampu hidup dan bersaing pada pasar kerja lokal maupun global. Mereka hanya mengalami kebingungan meski di negeri sendiri, karena tidak mempunyai kecakapan pengetahuan. Mereka baru sadar bahwa mereka ternyata tidak mendapatkan apapun setelah bertahun- tahun menghabiskan waktunya di bangku sekolah. Ini akibat dunia pendidikan kita penuh dengan standarisasi- standarisasi yang bersifat kaku dan mengabaikan ide serta kreativitas peserta didik. Sungguh ini suatu ironi ! Padahal kalau kita lihat arah pendidikan kita adalah pemahaman dan pengembangan konsep- konsep ilmu pengetahuan agar kita bisa menghasilkan teknologi dari konsep tersebut secara mandiri, bermartabat, beradab dan bertanggung jawab. Sedangkan sasarannya adalah untuk kemaslahatan umat. Adanya Permendiknas No. 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) baik untuk tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah, sepertinya masih dipandang sebagai sebuah tulisan di atas kertas. Lembaga- lembaga pendidikan formal tidak mau mengambil resiko dicap sebagai sekolah yang tidak bermutu oleh masyarakat karena tidak bisa meluluskan sebagian besar peserta didiknya dalam UN. Sudah saatnya pendidikan kita berorientasi pada pemahaman dan penguasaan ilmu pengetahuan serta kecakapan untuk hidup mandiri yang dilandasi oleh akhlak mulia. Bukan berorientasi pada pencapaian nilai standar minimal. Apabila orientasi pendidikan tidak segera dirubah, kita akan mengalami stagnasi ilmu pengetahuan dan menjadikan kita Negara yang terus terbelakang. Ingatlah sindiran Albert Einstein yang berkata: “ Tidak ada tanda yang lebih pasti tentang ketidakwarasan ketimbang melakukan hal yang sama berulang- ulang dan mengharapkan hasil- hasilnya berbeda.” Atau Nietzsche yang mengatakan bahwa perkembangan peradaban manusia tidak menuju pada isi tetapi menuju pada kekosongan (nihil). Pemahaman bahwa tujuan bersekolah adalah untuk menuntut ilmu yang merupakan kewajiban dan sekaligus kebutuhan setiap individu, bukan untuk mencari nilai yang sudah ditetapkan sebagai nilai standar. Pemahaman yang demikian akan menjadikan peserta didik tidak terbebani, sehingga mereka bisa mengedepankan proses belajar yang bermuara pada pemahaman dan penguasaan ilmu pengetahuan. Dengan demikian peserta didik dapat mengembangkan segala ide dan semua kreativitasnya yang membuat otak berkembang dengan pesat. Ujian Nasional saat ini memang masih diperlukan sebagai tolok ukur atau standarisasi nasional. Tetapi UN tidak bisa dijadikan sebagai satu- satunya indikator keberhasilan pendidikan. Janganlah UN dijadikan momok yang membunuh karakter peserta didik, apalagi saat ini banyak peserta didik yang resah karena adanya jadwal UN yang dimajukan menjadi bulan Maret 2010 dan wacana penggabungan UN-SNMPTN. Supaya peserta didik tidak begitu terbebani, kita bisa mulai menerapkan sistem SKS, sehingga UN bisa dilaksanakan dua kali dalam setahun dan ini juga demi terjaganya akuntabilitas UN itu sendiri (sesuai Pasal 6 Ayat 2. PP. No. 19 Tahun 2005). Jadi keduanya merupakan UN regular, bukan UN regular dan UN susulan seperti yang akan kita laksanakan pada tahun ajaran ini.


Sugeng Cahyadi, S. Pd. I
Guru IPA MTs Negeri Purworejo
Jl. Keseneng Purworejo. 54119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teacher Quote 20