Rabu, 30 September 2009

Artikel Pendidikan


Runtuhnya Konsep Higher- Order Thinking
Oleh: Sugeng Cahyadi, S.Pd.I

Pada tahun pelajaran 2007/ 2008 ini, mata pelajaran IPA di tingkat MTs/ SMP kembali dimasukkan dalam kelompok mata pelajaran yang di-Unas-kan. Hal ini tentunya membawa perubahan pada metode pengajaran IPA di kelas, khususnya kelas IX. Yaitu adanya kecenderungan pembelajaran yang dititik beratkan pada meteri Unas (Ujian Nasional) agar semua siswa bisa menembus target minimal dari standar nilai yang ditetapkan dalam Unas.
Perjuangan yang belum sampai pada titik kesimpulan untuk mengidentifikasi apa yang paling banyak bermanfaat dalam pendidikan ilmu pengetahuan alam (IPA), termasuk menciptakan pengajaran proses-proses keterampilan tentang penyelidikan pada ilmu pengetahuan alam (scientific inquiry), penerapan konsep- konsep dasar IPA secara tepat, penggunaan IPA dalam membuat keputusan setiap hari, membantu siswa mengenal bahwa IPA, teknologi dan kehidupan masyarakat saling mempengaruhi satu sama lain, maupun mengarahkan pengembangan berpikir siswa pada level tinggi (higher- order thinking) menjadi terhenti ditengah jalan.
Maksud dari perjuangan tersebut adalah untuk memberikan bekal kecakapan ilmu pengetahuan bagi peserta didik. Setidaknya pembelajaran IPA harus memberikan sumbangan terhadap terbentuknya kemampuan- kemampuan siswa, yang antara lain meliputi:
1. Mengidentifikasi dan mengenali masalah.
2. Merencanakan penyelidikan
3. Memilih metode, alat dan bahan.
4. Mengorganisasi dan melaksanakan penyelidikan secara sistematik.
5. Menginterpretasikan data pengamatan.
6. Mengevaluasi prosedur kerja dan menyarankan perbaikan.
Garis besarnya adalah bahwa selama proses pembelajaran berlangsung, kemampuan- kemampuan siswa untuk menggunakan ketrampilan proses seperti; mengajukan pertanyaan, menduga jawabannya, merancang penyelidikan, melakukan percobaan, mengelola dan mengolah data, mengkomunikasikan hasil temuannya, harus ditumbuhkembangkan. Siswa di sekolah tidak boleh diplot hanya untuk berlomba-lomba mengoleksi nilai, tapi mereka harus diberi “bekal”, karena mereka merupakan sebuah generasi yang harus survive.
Apabila pembelajaran IPA hanya berorientasi pada Unas, berarti pendidikan bertumpu pada perolehan nilai (value) dan proses pembelajaran hanya mengembangkan aspek kognitif siswa saja. Tentunya hal ini tidak sesuai dengan konsep belajar, dimana belajar adalah serangkaian proses yang melibatkan berbagai aspek atau ranah ( baik kognitif, psikomotorik, maupun afektif ), yang akan membawa pada perubahan, baik dalam arti behavioral changes, aktual, maupun potensial.
Proses pembelajaran yang hanya berorientasi pada Unas juga tidak sesuai dengan ruh kurikulum pendidikan (KTSP) yang menekankan proses pembelajaran yang berpusat pada siswa, dimana siswa ditekankan untuk menguasai kompetensi-kompetensi tertentu yang hasilnya dapat diamati dalam bentuk tingkah laku atau keterampilan siswa.
Disisi lain, proses pembelajaran IPA dengan mengembangkan metode penyelidikan ilmiah (scientific inquiry), akan mengubah sikap siswa yang tradisional dari pasif menjadi pelajar aktif, karena dengan pendekatan scientific inquiry siswa menjadi terlibat langsung dan menjadi pemeran utama dalam setiap proses pembelajaran. Tentunya yang demikian adalah sesuai dengan makna dan konsep belajar itu sendiri.
Begitu kompleksnya sistem pendidikan itu, sehingga dalam kesempurnaan sistem pendidikan, tidak terasa kita terjebak dalam lingkaran sistem tersebut. Tidak terasa pula kita telah keluar dari makna dan konsep belajar. Sungguh tepat sindiran Albert Einstein berikut: “Tampaknya zaman kita dicirikan oleh kesempurnaan cara dan kacaunya tujuan”.
Hasil atau produk dari pendidikan adalah investasi jangka panjang dan tidak dapat dinikmati dalam waktu yang singkat. Tidak ada masalah yang mustahil dipecahkan, meskipun ada tugas yang mustahil dilaksanakan. Meski sangat sulit, guru IPA saat ini dituntut agar selain siswanya sukses Unas, juga harus tetap mendorong dan memelihara pengungkapan diri dan kreativitas tiap- tiap siswa. Guru tidak hanya menempatkan siswa dalam belajar secara kontekstual tetapi juga harus menerobos dniding pembatas guna melakukan sinkronisasi antara dunia nyata (pasar kerja) dengan dunia pendidikan, Tentunya hasil tersebut kurang maksimal karena harus berbagi waktu dengan pengajaran materi Unas.
Proses pendidikan tentu tidak bisa terlepas dari proses penilaian (evaluasi), karena evaluasi digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan suatu individu (siswa) terhadap suatu materi yang telah dipelajari dan diajarkan. Penilaian jika dilihat dari fungsi didaktisnya akan membantu memberikan gambaran kemampuan, baik kemampuan siswa selama proses pembelajaran maupun keberhasilan guru dalam proses pengajarannya.
Idealnya sistem penilaian, terutama penilaian nasional (Unas) hendaknya harus sesuai dengan pola pada proses pembelajaran, bukan penilaian yang dilakukan pada akhir suatu unit studi dan dititik beratkan pada nilai dan formalitas. Kita bisa membandingklan dengan sistem penilaian di Amerika Serikat. Bahwa pada tahun 1990, Komite Nasional untuk Kebijakan Publik dan Pengujian telah merekomendasikan beberapa poin perubahan tentang penilaian, diantaranya adalah restrukturisasi pada pola testing penilaian yang mengacu pada pengembangan dan pemberdayaan bakat manusia, serta membatasi ketergantungan terhadap test pilihan ganda karena hasilnya kurang valid.
Kesimpulan akhirnya adalah perlunya kesamaan persepsi antara para tenaga pendidik di lapangan dengan para praktisi pendidikan (pemerintah) untuk segera merubah sistem penilaian nasional dengan pendekatan- pendekatan penilaian yang mencakup lebih banyak apa yang diketahui siswa dan apa yang dapat dilakukan oleh siswa, baik didalam ataupun diluar lingkungan sekolah. Atau penilaian yang sesuai dengan tujuan dan makna dari belajar itu sendiri.

Sugeng Cahyadi
Guru IPA MTs. Negeri Purworejo
Jl. Keseneng- Purworejo. 54119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teacher Quote 20