Rabu, 09 September 2009

CERDAS ITU PERMAINAN


Jika Cerdas itu Permainan maka Belajar adalah Bermain
Oleh: Sugeng Cahyadi

Mengapa ada manusia yang dianggap cerdas dan ada manusia yang dianggap tidak (belum) cerdas ? Padahal manusia memiliki ‘modal’ yang sama, yaitu kulu mauludin yuladu ‘alal fitroh yaitu bahwa setiap manusia yang dilahirkan dalam keadaan fitroh (suci). Lantas bagaimana agar menjadi manusia cerdas ? Karena kecerdasan bukanlah wahyu Tuhan yang diturunkan begitu saja, maka kecerdasan diperoleh melalui sebuah proses. Proses tersebut adalah belajar. Jadi cerdas dan tidaknya seseorang terletak pada pandangan konsepnya tentang belajar dan cerdas itu sendiri.

Cerdas itu Permainan

Berdasarkan ‘modal’ yang dimiliki setiap manusia tersebut, setiap manusia mempunyai kemampuan dan hak untuk cerdas. Proses cerdas dimulai dari dalam diri, maka kita harus aktif terlibat dalam proses untuk menginginkan cerdas tersebut.
Setiap permainan pasti mempunyai aturan main (rules of the game), jadi agar lebih mudah mengendalikan permainan dan lebih cepat menuju kemenangan haruslah mengerti dan memahami aturan mainnya. Apabila cerdas itu permainan, maka inilah aturan mainnya; 1) mempunyai hasrat untuk cerdas, 2) percaya diri, 3) Efisiensi waktu, 4) cerdas is never ending process (cerdas merupakan proses yang tidak mempunyai kata akhir). Dan berikut adalah paparan ringkas dari aturan- aturan tersebut.
Mempunyai hasrat untuk cerdas merupakan sasaran, keberanian, keyakinan dan janji awal untuk mewujudkan menjadi cerdas. Cherie Carter- Scott, Ph.D berpendapat bahwa hasrat adalah langkah awal untuk memulai menggerakkan permainan dan semua berawal dari hasrat (keinginan), bukan dari khayalan atau imajinasi kosong.
Percaya diri akan diri berarti mengenal diri sendiri, yang akan mengantar ke jalan yang menjadi milik kita sendiri. Percaya diri juga berarti menghormati kebenaran sejati dalam diri kita. Seringkali kita terpengaruh ketika orang lain menganggap kita ‘bodoh’ atau kurang mampu. Padahal orang lain tidak mengetahui secara detail siapa diri kita sebenarnya. Jadi yang bisa menentukan keputusan terbaik ketika kita menghadapi masalah individual adalah diri kita sendiri. Dengan percaya diri, kita bisa memberdayakan segala potensi diri menuju potensi yang paling tinggi, sehingga memberikan kesempatan yang lebih besar untuk mencapai kecerdasan yang kita inginkan. Percaya diri membuat kita mampu menghubungi hasrat kita, sehingga bisa menentukan sasaran- sasaran kita, keinginan kita dan menentukan pilihan kita.
Efisiensi waktu adalah pemanfaatan waktu seoptimal mungkin untuk mencapai sasaran kita. Seperti yang telah dituliskan oleh Yusuf Qardhawi bahwa barang siapa tidak mengerti nilai waktu sekarang ini (waktu hidupnya), maka akan datang padanya suatu masa dimana pada masa itu ia akan mengerti nilai keindahannya dan nilai amal didalamnya. Namun sayang, masa yang indah itu telah hilang.
Al Qur’an mengingatkan adanya dua masa bagi manusia yang akan menyesali karena telah menyia- nyiakan waktunya, tetapi penyesalan tersebut tiada berguna. Masa yang pertama adalah sakaratul maut, biasanya manusia menginginkan ajalnya diundur agar dapat memperbaiki segala amal perbuatan. Masa yang kedua adalah masa kehidupan di akhirat, dimana setiap perbuatan diberi balasan. Bagi yang menyia- nyiakan waktu, mereka mendapat sikssa, sehingga mereka meminta untuk kembali ke dunia untuk beramal saleh. Namun sayang waktu beramal telah usai.
Efisiensi waktu akan tercapai apabila kita menyusun sasaran- sasaran hidup kita dengan matriks yang cerdas dan jelas. Cherie Carter- Scott mengungkapkan agar sasaran- sasaran ada dalam jangkauan kita, sasaran tersebut haruslah berupa sasaran SMART. Bila sasaran tidak SMART maka itu bukan sasaran, tetapi sekedar niat. Jadi semua sasaran harus mempunyai kriteria yang sifatnya SMART ( Specific- Measurable- Attainable- Realistic- Time based). Pertama sasaran harus spesifik, harus diungkapkan dengan tepat apa yang kita maksud atau ingin kita capai. Kedua, sasaran harus terukur (measurable), dimana kita bias menghitung atau menandai hasilnya dengan suatu cara. Ketiga, sasaran harus bisa diraih (Attainable) sesuai profil professional / SDM kita. Keempat, sasaran harus realistis (realistic), sebagai contoh, apakah realistis jika kita ingin menjadi pelari professional tapi kita mempunyai kelainan lutut ?. kelima, sasaran harus didasarkan pada batas waktu (time based), setiap sasaran harus mempunyai tanggal penyelesaian. Kalau tidak ditetapkan tanggal penyelesaiannya, maka hasil yang diinginkan lebih merupakan niat dan imajinasi dan tertunda oleh janji abadi “akan saya selesaikan besok” dan dijangkiti virus “jangan sekarang”.
Aturan main terakhir, bahwa cerdas bukan suatu keadaan yang ada akhirnya. Selalu ada hakekat- hakekat, pandangan- pandangan dan pelajaran- pelajaran baru untuk dijelajahi. Seolah kita sudah jauh “disana” tetapi ketika kita sadari, ternyata kita masih “disini”. Hingga T.S. Eliot pernah berkata bahwa yang kita namakan awal seringkali justru merupakan akhir. Dan mengakhiri adalah membuat permulaan. Akhir adalah darimana kita berangkat.
Alasan mengapa cerdas adalah proses yang tidak pernah berakhir adalah karena definisi kita tentang cerdas senantiasa berubah dan meningkat. Jika cerdas mempunyai titik akhir, maka kita telah gagal menjalani permainan ini.


Belajar adalah Bermain
Untuk mencapai sasaran cerdas, tentunya tidak lepas dari proses yang bisa membuat seseorang menjadi cerdas, yaitu BELAJAR. Apabila seseorang telah belajar tapi tidak menjadi cerdas, maka perlu dicari penyebabnya. Pertama kita harus tahu definisi cerdas terlebih dahulu. Pada dasarnya kecerdasan manusia itu unik dan semuanya secara individual, tetapi individu- individu tersebut memberi kontribusi signifikan pada kehidupan manusia. Gardner mendefinisikan kecerdasan dengan tidak memandang bahwa kecerdasan manusia berdasar skor tes I.Q, tetapi kecerdasan adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah, kemampuan menghasilkan persoalan- persoalan baru untuk diselesaikan dan kemampuan mencipta/ menawarkan jasa yang menimbulkan penghargaan dalam budaya seseorang.
Kedua, kita lihat sistem lembaga pendidikan dimana kita belajar. John Dewey berpendapat bahwa pendidikan yang diterima di sekolah, idealnya terdiri dari kontinuitas keseluruhan pengalaman daripada suatu seri wacana abstrak yang terfragmentasi, yang dilakukan oleh beberapa pendidik.
Dengan demikian, lembaga pendidikan yang baik tentunya tidak melakukan ‘pemerkosaan intelektual’ peserta didiknya. Peserta didik tidak diharuskan untuk menjadi orang super yang menguasai semua jenis kecerdasan. Sistem belenggu seperti ini akan menjadikan proses belajar menjadi hal yang menakutkan dan menjemukan, sehingga pintu menuju cerdas menjadi tertutup. Seharusnya siswa digali, dibimbing dan difasilitatori untuk mengembangkan bakat, kemampuan dan keinginan mereka masing- masing. Niscaya kalau keinginan seseorang dihargai menjadikan proses belajar mereka menjadi hal yang menyenangkan. Belajar tidak ubahnya dengan bermain dan pintu menuju cerdas terbuka lebar.


Sugeng Cahyadi, S.Pd. I
Guru IPA MTs Negeri Purworejo
Jl. Keseneng- Purworejo. 54119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Teacher Quote 20